Yuni: Tribute Untuk Sapardi dan Perempuan Indonesia

Saya datang menonton film Yuni tanpa ekspektasi apa-apa, terlepas dengan statusnya sebagai pemenang Platform Prize di Toronto International Film Festival, saya mencoba pergi menontonnya tanpa menonton trailer ataupun membaca sinopsisnya—dan benar saja, saya pulang dengan perasaan yang benar-benar puas.

Film ini dimulai dengan sebuah adegan penyuluhan rencana akan diadakannya tes keperawanan di tempat Yuni sekolah. Saat adegan tersebut saya kemudian teringat film Dua Garis Biru karya Gina S. Noer. Tapi rupanya Yuni hadir dengan naskah yang lebih berani dan lebih rapi.

Yuni merupakan seorang gadis dengan kesukaan yang unik, bahkan aneh terhadap warna ungu. Pakaian dalamnya berwarna ungu, motornya berwarna ungu, dan minuman favoritnya bahkan jus anggur. Bukan hanya itu, ia sering kali mencuri barang temannya yang berwarna ungu, seperti adegan di awal film dimana Yuni tertangkap basah mencuri ikat rambut ungu milik temannya.

Entah apa metafora yang ingin dihadirkan Kamila Andini lewat kecintaan Yuni terhadap warna ungu tersebut, tapi yang jelas Yuni mengingatkan saya kepada mantan saya yang juga mempunyai kecintaan yang dalam terhadap warna ungu, ia kini sudah menikah dan beranak dua..

Sebentar, ini kenapa saya justru bercerita soal mantan saya?

Ada beberapa hal menarik dalam film Yuni yang hadir di luar ekspektasi saya.

Yang pertama adalah bagaimana film ini menjadikan bahasa daerah Jawa-Serang sebagai bahasa yang digunakan pemain-pemainnya. Ini mengingatkan saya akan Yowis Ben karya Fajar Nugros yang melakukan hal kurang lebih sama. Kekaguman saya bertambah kepada film ini karena dengan kehadiran bahasa daerah sebagai bahasa utama, film ini dapat memenangi penghargaan di Toronto International Film Festival. 

Saya awalnya sempat menerka-nerka dimanakah latar tempat lokasi film ini, sampai kemudian saya melihat satu adegan saat Yuni sedang berkaraoke di sebuah tempat yang sangat familiar bagi saya; yaitu Rumah Dunia yang didirikan oleh Gola Gong, penulis sekaligus ayah salah satu sahabat saya.

Selesai menonton pun saya kemudian bertanya kepada sahabat saya tersebut soal kebenaran dugaan saya, dan rupanya, bukan hanya salah satu tempat syutingnya berlokasi di Rumah Dunia, namun juga Kamila Andini memang bekerjasama dengan beberapa pihak dari Rumah Dunia dalam pembuatan film ini. Mulai dari keberadaan Ade Ubaidil, salah satu relawan Rumah Dunia sebagai penulis adaptasi novelnya, hingga keberadaan Toto St Radik, salah satu pendiri Rumah Dunia sekaligus pemeran Mang Dodi dalam film ini. 

Hal itulah yang kemudian membuat saya berkesimpulan bahwa film ini memakai lokasi Serang sebagai latar tempatnya, setelah sebelumnya menerka-nerka bahasa daerah yang dipakai karakter-karakternya yang terdengar seperti bahasa Sunda.

Yang kedua adalah bagaimana film ini hadir dengan menampilkan kritik terhadap berbagai isu tanpa membuat naskahnya lari kemana-mana, dan isu yang dibawa pun cukup menyentil serta berani. Film ini membawa berbagai isu mulai dari tes keperawanan, poligami, bahkan transgender—setelah cukup lama isu ini tidak dibawa sejak film Arisan. Namun ada satu isu yang menjadi fokus utama; nikah muda. 

Meskipun di kalangan film kontemporer, isu ini juga sempat dibawakan oleh film Dua Garis Biru, namun Yuni hadir dengan perspektif yang berbeda—jika Dua Garis Biru terkesan, setidaknya buat saya sebagai sebuah film yang ‘Jakarta’ sekali dengan konklusi yang sangat feminis liberal, menghadirkan Dara sebagai tokoh yang ‘punya pilihan’, Yuni hadir dengan tokoh utamanya yang meskipun dengan keberaniannya menolak berbagai lamaran yang datang saat ia baru saja mau lulus SMA, tetap tak berdaya dengan stigma mengenai perempuan yang berlaku di masyarakat desanya. Berbeda pula dengan Dara yang dilahirkan dari keluarga menengah keatas, Yuni hanya merupakan anak dari pasangan suami-istri yang bekerja sebagai buruh imigran.

Hal ini mengingatkan saya akan tokoh Marlina dalam Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak. Bagi saya, dengan perspektif tokoh-tokoh seperti Marlina dan Yuni lah isu-isu feminisme dan kesetaraan perempuan (juga) seharusnya dibicarakan. 

Yang ketiga adalah, tentu saja, kehadiran puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang menghiasi berjalannya film ini, menjadikan film ini sebuah tribute terhadap buku Hujan Bulan Juni yang bahkan lebih baik dari film adaptasi Hujan Bulan Juni itu sendiri.

Saat awal kehadiran salah satu puisi Sapardi Djoko Damono dalam film ini, saya mengira puisi itu hanya akan hadir sebagai pemanis film, namun sambil berjalannya film, puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dalam buku Hujan Bulan Juni kembali hadir, mulai dari puisi Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana hingga puisi Hujan Bulan Juni itu sendiri yang hadir menutup film ini.

Hal ini mengingatkan saya akan film Gie, dimana adegan film ditutup dengan puisi terakhir Soe Hok Gie yang dibawakan oleh Nicholas Saputra, tak luput pula, seperti Gie, diiringi puisi Hujan Bulan Juni, Yuni menutup filmnya dengan adegan yang multi intrepertasi. 

Namun bukan hanya tiga hal itu saja yang mengejutkan saya saat menonton film Yuni, ada satu hal lagi; yaitu kehadiran Marissa Anita sebagai Bu Lilis, yang mengagetkan saya bukan hanya karena kehadiran Marissa Anita sebagai ustadzah berjilbab, namun kefasihannya berbahasa Jawa-Serang, membuktikan kualitasnya sebagai aktris setelah sebelumnya tahun ini juga sempat memenangi Piala Citra atas perannya di film Ali & Ratu-Ratu Queens. 

Film ini merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang saya tonton tahun ini, bahkan bisa dibilang terbaik dari yang pernah ada. Meskipun ada beberapa hal minor yang cukup mengganggu saya—seperti kehadiran teman-teman anggota band Yuni yang hanya hadir sekilas untuk menyampaikan kritik Kamila Andini mengenai suara adalah aurat, juga air pendingin udara bioskop yang bocor hingga mengenai saya berkali-kali saat menonton film—namun hal kedua ini jelas di luar kendali produser dan sutradara film.

Bagaimanapun itu, saya ingin mengakhiri ulasan singkat ini dengan salah satu dialog dari film Yuni yang sangat mengena bagi saya;

“Jangan biarkan orang bilang kamu nggak boleh bersuara, karena mereka tidak tahu rasanya tidak memiliki suara.”

Semoga keadilan terhadap perempuan Indonesia, di tengah maraknya kasus-kasus pelecehan seksual akhir-akhir ini, akan segera terwujud.

Amin.

Posts created 32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top