V, Patronase, dan Konflik Kepentingan di Aksi Kamisan Kaltim

Saat Alan Moore, seorang anarko asal Inggris ditanya mengenai adaptasi film dari V For Vendetta, novel grafis yang ia ciptakan, ia mengatakan bahwa film tersebut adalah sampah.

Salah satu alasannya adalah ia berpendapat  bahwa dalam filmnya revolusi yang dibawa oleh V berlangsung secara spontan. Padahal, ia percaya bahwa itu butuh waktu. Itulah kenapa dalam novel grafisnya topeng Guy Fawkes yang menjadi simbol ikonik V berpindah tangan ke Evey dan Evey pun nantinya akan menyerahkan topeng tersebut kepada Finsch.

Dua hal yang bisa kita petik dari pernyataan Alan Moore tersebut; bahwa menciptakan sebuah perubahan bukanlah one-man-show dan bahwa dalam prosesnya yang memakan waktu akan selalu membutuhkan regenerasi.

Alan Moore, anarko di balik V For Vendetta dan Watchmen

Saya baru saja membaca wawancara Alan Moore mengenai adaptasi novel grafisnya ketika mendengar kabar menggemparkan. Seorang figur yang terlibat dalam jejaring kekuasaan  disebut berada di balik salah satu gerakan sipil berumur panjang di Bumi Etam, yakni Aksi Kamisan Kaltim.

Tudingan mengenai hal tersebut diungkap mahasiswi sekaligus aktivis asal Samarinda yang bermukim di Jogja, Adjie Valeria. Dalam tulisannya yang bertajuk ‘Menilik Secuil Dramaturgi Aksi Kamisan Kaltim pada Akhir 2022’, Adjie mengatakan terdapat seorang pentolan Aksi Kamisan Kaltim yang merupakan anggota ‘Partai Borjuis’ atau dalam bahasa sederhananya; partai politik.

Kehadiran sosok tersebut juga disebut Adjie menjadi patronase. Menurut James C. Scott, patron adalah seorang individu yang mempunyai status sosial-ekonomi lebih tinggi  dan memiliki pengaruh terhadap orang-orang lain yang memiliki status lebih rendah (Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, 1972).

Persoalan tersebut  menurut Adjie menimbulkan sejumlah pertanyaan serius. Apakah Aksi Kamisan  Kaltim memang mewakili elemen sipil? Atau jangan-jangan segelintir orang yang kerap muncul terlibat di Aksi Kamisan Kaltim justru memiliki kepentingan pribadi seperti menjual isu publik?

Pertanyaan-pertanyaan demikianlah akan penulis coba bedah dalam poin-poin berikutnya.

Ada Tokoh Kunci?

Dalam buku berjudul ‘Di Bawah Payung Hitam: Studi Komunikasi Partisipatif Aksi Kamisan di Benua Etam’. Samuel Gading dan kedua dosen pembimbingnya Dr. Erwiantono dan Ainun Ni Ma’tu Rohmah menangkap sebuah fenomena komunikasi dalam Aksi Kamisan Kaltim.

Terdapat tiga temuan penting dalam gerakan tersebut; Heteroglasia (Keterlibatan), Dialog, dan Poliponi (Perdebatan). Ketiga penulis secara rinci menjabarkan bagaimana Aksi Kamisan hadir secara historis di Benua Etam. Mereka berhasil mengidentifikasi berbagai hal; mulai dari inisator awal, identifikasi penggerak (Gerilyawan Kamisan), hingga cara-cara yang digunakan penggerak untuk menggaet massa.

Namun, saya secara rinci ingin membahas faktor keterlibatan dalam gerakan itu berdasarkan keterangan tiga informan yang identitasnya disembunyikan oleh para penulis.

Terdapat satu poin penting yaitu ada  satu Gerilyawan Kamisan yang memiliki pengaruh secara sosial dalam Aksi Kamisan Kaltim.

Secara teoritik, sosok ini mempunyai social influence dan mempunyai kekuatan untuk menjadi opinion leader dalam gerakan tersebut (Di Bawah Payung Hitam, hlm 89).

Entah berkaitan atau tidak, menurut temuan penelitian terjadi kemunculan dominasi dari sosok tersebut yang menyebabkan penurunan keikutsertaan berbagai individu dan kelompok dalam gerakan tersebut. Namun sayangnya, buku tersebut tidak mengungkap siapa tokoh tersebut.

Siapa itu Kakak Pembina?

Kembali ke patronase yang menjadi kritikan Adjie Velaria. Maka kepada siapa kritikan itu sebenarnya ditujukan? Siapakah sang patron? Berdasarkan riset kecil-kecilan saya ke sejumlah kawan, sosok tersebut ternyata dijuluki sebagai Kakak Pembina.

Kakak Pembina adalah salah satu pentolan aktivis ternama di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non Goverment Organization (NGO) di Kaltim. Sepak terjangnya luar biasa. Konon katanya, sosok ini pula yang berkomunikasi dengan tokoh-tokoh Aksi Kamisan di Jakarta untuk minta restu mendirikan gerakan yang identik dengan payung hitam tersebut di Kaltim.

Dua teman saya, sebut saja Upin dan Ipin (bukan nama asli) yang sempat aktif terlibat dalam kepengurusan Aksi Kamisan Kaltim pun bercerita bahwa Kakak Pembina memang terlibat banyak dalam kepengurusan Aksi Kamisan Kaltim. Bahkan termasuk dalam Gerilyawan Kamisan.

“Ia banyak memberikan instruksi secara teknis,” ujar Ipin yang pada tahun 2019 kerap terlibat sebagai koordinator lapangan Aksi Kamisan Kaltim.

Upin yang juga sempat menjadi penanggung jawab dalam beberapa agenda Aksi Kamisan Kaltim mengatakan sosok Kakak Pembina tersebut bahkan memberikan arahan mengenai aksi pedagang kaki lima di bantaran tepian Sungai Mahakam meskipun akhirnya aksi tersebut tidak jadi berjalan.

“Saya punya bukti obrolan di WhatsApp mengenai itu,” ungkap Ipin. Ia mengaku sempat kebingungan karena arahan dari Kakak Pembina kontradiktif dengan advokasi yang dilakukan oleh LSM lain.

Kritik kepada Kakak Pembina mulai muncul ke publik sejak ia menjadi pegawai fraksi partai politik di salah satu lembaga legislatif yang berkantor di Samarinda.

Kembali ke poin Adjie, tindakannya itu disebut sebagai kolaborasi kelas dengan partai borjuis. Sebuah mural bahkan dibuat di bawah Flyover di Jalan Juanda, Samarinda, yang menuding bahwa Aksi Kamisan Kaltim ditunggangi oligarki.

Kritik mural terhadap Aksi Kamisan Kaltim di Flyover Juanda, Samarinda (sumber: Istimewa)

Terlepas benar atau tidaknya isu tersebut, saya menilai ada satu persoalan genting, yaitu kehadiran Kakak Pembina memunculkan riuh rendah bagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam Aksi Kamisan Kaltim.

Banyak yang mempertanyakan posisi Kakak Pembina. Jika mengutip Di Bawah Payung Hitam lagi, menciptakan ambiguitas terhadap fungsi dan posisi politik Aksi Kamisan Kaltim. Kekhawatiran kita semua, persoalan itu tentu akan menyebabkan krisis solidaritas dan trust issue bagi kelompok-kelompok sipil Bumi Etam.

Akar dan Masalah Patronase

Untuk menghindari tulisan ini menjadi tulisan yang membawa sentimen personal dan berujung saling tuding menuding, saya merasa perlu membahas mengenai patronase secara lebih mendalam.

Membahas patronase tentu tidak hanya membahas konflik kepentingan dengan adanya isu kolaborasi kelas yang disebutkan terjadi pada Kakak Pembina yang menjadi pembicaraan pada tulisan ini.

Apalagi perlu diingat bahwa selain menjadi pegawai fraksi partai politik, ia mempunyai latar belakang sebagai aktivis ‘senior’.

Hal ini perlu ditarik lagi kepada pidato Mochtar Lubis pada 6 April 1977 yang kemudian dibukukan dalam buku berjudul Manusia Indonesia, dimana pendiri ANTARA tersebut menyatakan bahwa orang-orang Indonesia kerap ‘berperilaku feodal’.

Meskipun feodalisme menjadi sesuatu yang secara sistem ekonomi politik sudah tidak relevan, namun feodalisme secara sosial, sebut Mochtar Lubis, hadir ‘dalam bentuk-bentuk baru dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.’

Hal itulah yang kemudian, melahirkan patronase. Mengutip dari Anthony Hall, akar munculnya hubungan patron-klien adalah tumbuhnya feodalisme dan meskipun feodalisme secara sistem telah tidak lagi dipakai oleh masyarakat secara umum, model hubungan patron-klien tersebut pada akhirnya tetap bertahan. (Patron-client relations, 2008)

Melihat patronase (jika benar adanya) oleh Kakak Pembina ini tentu juga perlu melihat statusnya sebagai aktivis ‘senior’ yang jika iklimnya memungkinkan tentu akan memunculkan model hubungan patron-klien yang berwatak feodal atas dasar senioritas.

Hal ini akan menimbulkan masalah yang sekarang pun sudah dapat dirasakan benih-benihnya. Seperti yang diungkapkan oleh Leon Kastayudha, salah satu prinsip pengorganisiran adalah ‘pengorganisiran tidak bisa dan tidak boleh berdasarkan koncoisme, seniorisme-yuniorisme, dan hubungan patron-klien. Pengorganisiran bahkan pergerakan itu sendiri akan bermasalah bahkan hancur bilamana di dalamnya sarat kesenjangan, klik, dan hubungan-hubungan tidak sehat’.


Tulisan ini sekali lagi bukan dibuat untuk melakukan pembunuhan karakter. Terlepas dari bahasan soal konflik kepentingan dan patronase di atas, pada akhirnya motif Kakak Pembina tetap bertahan di Aksi Kamisan Kaltim pun, hanyalah dia dan Tuhan yang tahu. Atau kalaupun hubungan patron-klien itu terjadi mungkin saja hal tersebut juga berjalan tanpa dia sendiri sadari.

Saya ingin menyediakan sedikit ruang benefit of the doubt dan memunculkan satu anggapan (yang dapat dibantah) bahwa mungkin Kakak Pembina dalam hubungannya bersama Gerilyawan Kamisan menganggap dirinya sebagai ‘bapak’ atau ‘abang’ yang harus melindungi anak-anak didiknya.

Itu membuat saya teringat pada dialog dalam film Cek Toko Sebelah 2, bahwa anak tidak selamanya membutuhkan perlindungan, ia juga perlu rasa percaya.

Layaknya dalam V for Vendetta, topeng Guy Fawkes itu harus diberikan kepada generasi selanjutnya. Seperti kata V, di balik topeng ini bukan hanya seorang manusia, tapi di balik topeng ini ada sebuah pemikiran.


Catatan (Fatih Nokturnal): Berbicara mengenai konflik kepentingan, maka itu merupakan sebuah otokritik kepada diri saya sendiri sebagai yang memuat tulisan ini dalam blog yang saya ampu bersama kawan saya dimana saya sendiri merupakan  anak salah seorang kepala daerah di Kaltim, setidaknya saat tulisan ini dimuat.

Maka, perlu saya klarifikasi bahwa:

1.Saya tidak punya konflik kepentingan apapun, tulisan ini murni sebuah keresahan yang sudah banyak dirasakan banyak orang, termasuk penulis sendiri.

2. Dengan latar belakang itu, saya pun bersedia jika saya dituntut untuk menghilangkan keterlibatan saya sama sekali di Aksi Kamisan Kaltim, tidak terlibat dalam aksi rutinnya tiap Kamis, termasuk keluar dari grup WhatsApp yang ada.

3. I believe in rough consensus.

4. La historia me absolverá.

 

Posts created 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top