Perkenalan pertama saya dengan karya Clarissa Goenawan ialah lewat novel pertamanya yang berjudul Rainbirds, setelah itu saya mulai mencari tahu tentang penulis dari Singapura ini yang ternyata kelahiran Indonesia. Clarissa juga sering menulis cerpen dan bahkan memenangkan penghargaan. Karyanya juga sering dimuat di majalah sastra Singapura, Australia, Inggris, Amerika, Jepang, dan juga Indonesia.
Gaya penulisan The Perfect World of Miwako Sumida sama seperti Rainbirds, saya merasa gaya penulisan Clarissa banyak dipengaruhi oleh Haruki Murakami. Kalimat-kalimat sederhana yang dibangunnya, alur cerita yang mengalir dengan mudah dipahami, dan atmosfer agak gelap yang terasa menyelimuti di sepanjang cerita, tersusun sangat rapi.
Tapi meskipun demikian keotentikan Clarissa sendiri masih terasa kentara, kisah-kisah yang ia tulis terasa muda, effortless, tapi juga membuat penasaran di saat yang bersamaan. Penyusunan plot yang matang membuat misteri yang dimiliki cerita terjaga dengan baik sebelum terungkap dengan cara yang sengaja dibuat tidak menggebu-gebu. Saya sangat suka semua elemen kesederhanaan dalam penulisan Clarissa, walau sebenarnya tema yang diangkat cukup berat dan gelap.
The Perfect World of Miwako Sumida berkisah tentang tragedi yang menimpa orang-orang terdekat Miwako Sumida pasca ia bunuh diri. Meski Miwako Sumida sudah meninggal, pembaca diperkenalkan secara perlahan tentang perwatakan Miwako yang agak aneh. Kepingan kehidupan Miwako coba diungkap lewat beberapa sudut pandang orang terdekatnya. Saya cukup penasaran mengapa Clarissa sangat suka membuat cerita dengan setting di Jepang, sebab Rainberds pun bersetting di Jepang. Namun saya akui bahwa nuansa Jepang yang dihadirkan oleh Clarissa berhasil memotret detil Jepang yang membuat pembaca yakin, cerita ini memang terjadi di Jepang.
Buku ini terbagi atas tiga sudut pandang karakter saling bersinggungan yang kemudian beririsan pada satu misteri. Ini memang cara yang tepat untuk sebuah kisah misteri seperti ini. Akan tetapi dari ketiga sudut pandang yang ada, menurut saya bagian ketiga adalah bagian terlemah yang membuat saya berpikir mengapa Clarissa tidak mengambil sudut pandang karakter yang lain saja. Sebab di bagian pertama dan kedua terasa sangat sempurna.
Dimana di bagian pertama pembaca dapat merasakan perasaan kebingungan karakter yang sama seperti pembaca; bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Miwako. Demikian juga di bagian kedua, sudut pandang karakter kedua ini berusaha menyembunyikan sesuatu yang akan diungkap di bagian akhir. Sedangkan di bagian ketiga Clarissa malah memilih kisah yang berbau mistis untuk mengisi lubang cerita agar semua jadi terjelaskan. Tapi kembali lagi, semua soal selera. Meski saya tidak terlalu suka di bagian ketiga buku ini, namun secara keseluruhan The Perfect World of Miwako Sumida adalah salah satu karya yang wajib kalian baca.
Studi karakter yang cukup rumit berhasil menampilkan karakter-karakter yang sangat berkesan, tema psikologi yang termuat di novel ini pun cukup memberikan warna yang mengisyaratkan bahwa ini adalah karya yang serius. Ada banyak pesan-pesan mendalam yang hadir di dalam novel ini. Mulai dari kisah persahabatan, romansa sendu ala anak muda, kisah keluarga yang hangat, dan juga tentang trauma yang mungkin saja banyak terjadi di lingkungan kita saat ini.
Kesimpulan
The Perfect World of Miwako Sumida berhasil menyuguhkan kisah misteri yang akan membuat pembaca tidak bisa berhenti menikmatinya hingga halaman terakhir. Pengembangan karakter bekerja sangat efektif dan juga berhasil menjadi wadah yang kokoh untuk membawa plot cerita agar tidak melenceng terlalu jauh. Gaya penulisan Clarissa yang terkesan effortless membuat novel ini mudah dicerna dan nyaman untuk diikuti. Walau jika dibandingkan dengan karya Clarissa sebelumnya; Rainberds, The Perfect World of Miwako Sumida berada setingkat dibawahnya.
Skor: 7.5
