Awal saya mengetahui buku ini adalah lewat sebuah grup Whatsapp pelatihan buku yang diadakan oleh Ratih Kumala, istri Eka Kurniawan. Saya bertanya mengenai romantisasi disabilitas dalam penulisan sebuah novel fiksi–saat itu saya merujuk kepada novel Game of Thrones yang berhasil menampilkan Tyrion Lannister, seorang disabilitas dwarfisme yang penokohannya mampu menghasilkan sesuatu yang kompleks tanpa melebih-lebihkan disabilitas yang dimilikinya.
Mbak Ratih Kumala kemudian menyarankan saya untuk membaca buku ini; The Curious Incident of The Dog in The Night Time atau yang kemudian diterbitkan di Indonesia dengan judul Insiden Anjing Di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran.
Buku ini mengangkat dan mengajak kita melihat kehidupan Christopher Boone, seorang anak berkebutuhan khusus yang tinggal bersama ayahnya. Sisi neurotic Christopher pun sudah diperlihatkan lewat penyusunan bab-babnya, dimana penyusunan bab tersebut bukan 1, 2, dan 3. Namun dimulai dari angka 2, 3, 5, 7 dan angka prima seterusnya dikarenakan Christopher Boone menyukai bilangan prima. Buku ini ditulis Mark Haddon lewat perspektif orang pertama Christopher Boone itu sendiri–yang membuat buku ini semakin menarik.
Seperti judulnya, buku ini merupakan sebuah buku misteri detektif, namun detektif kita disini bukanlah detektif seperti Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle atau Hercule Poirot karya Agatha Christie. Detektif kita disini merupakan seseorang yang bisa dikatakan ‘unik’, dan di dalam buku ini kita diajaknya untuk memecahkan dua misteri; misteri pertama adalah mencari pembunuh Wellington, anjing tetangganya dan misteri kedua adalah mencari keberadaan ibunya yang telah lama hilang.
Banyak yang menganggap bahwa Christopher Boone merupakan seorang pengidap Asperger (salah satu sindrom autisme), namun Mark Haddon yang memenangkan Whitbread Book of The Year lewat buku ini menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak berniat bercerita tentang seorang pengidap Asperger, dalam blognya pada Juli 2009, ia menuliskan;
“The Curious Incident bukanlah buku mengenai Asperger, lebih-lebih ini adalah buku mengenai perbedaan, buku tentang seseorang yang terasingkan, tentang melihat dunia melalui cara-cara yang mengejutkan, buku ini tidak bercerita secara spesifik mengenai sindrom manapun.”
Buku ini saya baca sambil mendengarkan dua lagu; Extraordinary Magic oleh Ben Rector dan How Could I Not oleh Tom Rosenthal. Lagu-lagu tersebut menambah sensasi saya dalam membaca buku ini, dimana lirik-lirik lagu tersebut seolah-olah menggambarkan perasaan ayah Christopher Boone terhadap anaknya–terutama lagu kedua;
I don’t know how your brain works so well
And if I did I might explode
Even if could, I don’t think that I would
Want to decipher your series of codes
A lifetime of trouble but how could I not love you
Sumber: Youtube Tom Rosenthal
Lagu tersebut seolah menggambarkan perasaan ayah Christopher Boone yang mengakui dan tidak menafikan bahwa anaknya mau tidak mau ‘berbeda’ dengan anak-anak lain. Namun terlepas dari perbedaannya itu, ayahnya tetap mencintainya sepenuh hati.
Sumber: Kompas
Oiya, buku ini juga mengingatkan saya pada film Wonder (2017) karya Stephen Chbosky. Saat membacanya pun, saya membayangkan sosok Jacob Tremblay (pemeran karakter Auggie dalam film Wonder). Sejak film Room, saya sangat mengagumi aktor cilik ini, semoga jika suatu saat buku ini diadaptasi menjadi film, Jacob Tremblay yang akan memerankannya.
Sumber: Dok. Pribadi
Akhir kata, bagi saya buku ini merupakan bacaan yang harus dibaca banyak orang, entah kamu yang memiliki teman/keluarga yang mempunyai ‘kelainan unik’, atau kamu yang merasa ‘berbeda’ dan ‘terasingkan’ dari orang kebanyakan, atau kamu yang ingin sekedar membaca sebuah cerita ringan yang menghangatkan hati; buku ini saya sangat sarankan untukmu.
