Sepak Bola dan Cara Anak Muda Membaca Bangsanya

Sepakbola adalah olahraga yang ramai digemari oleh seluruh tingkatan masyarakat. Sepakbola boleh dikata memiliki magnet tersendiri bagi para penggemarnya. Tak heran, jika sepakbola seringkali diidentikkan dengan semangat nasionalisme suatu komunitas bangsa tersendiri. Maksudnya, setiap bangsa atau negara yang telah dan sedang bertumbuh, tak lengkap rasanya jika belum memiliki tim Sepakbola sebagai kebanggaan warganya. 

Sepakbola telah merasuki jiwa ramai anak bangsa. Tengok saja, mulai dari lagu kebangsaan hingga lambang – lambang kenegaraan ramai menghiasi stadion dan media sosial kala sebuah tim Sepakbola nasional bertanding, tak terkecuali di Indonesia. Ini sejalan dengan konsep Ernest Renan tentang nasion (bangsa), nation is soul , bangsa adalah jiwa, tulis Renan.

Sepakbola juga tak hanya milik suatu tim nasional saja. Di kampung – kampung hingga perkumpulan – perkumpulan masyarakat di kota, klub sepakbola juga tak kalah ramainya. Lihat saja kejuaraan- kejuaraan sepakbola antar-kampung (Liga Tarkam kata masyarakat awam), tak pernah sepi dari penonton. Bahkan, suporter masing – masing klub tersebut ada saja, ramai dan militan bahkan. Olehnya itu, sepakbola juga bertalian dengan semangat lokalitas suatu komunitas masyarakat. 

Semangat lokalitas itu merembes dari kampung – kampung hingga kota – kota. Semangat yang mewarnai sepakbola ini juga seia sekata dengan konsep nasion (bangsa) Ernest Renan selanjutnya, yakni nation is locality (bangsa adalah lokalitas). Artinya, sepakbola dan spirit kebangsaan itu sendiri tak bisa lepas dari semangat lokalitas itu sendiri. Itu kenapa sepakbola ada di kota – kota hingga ke kampung – kampung.

Untuk menyatukan lokalitas – lokalitas yang terpisah itu, apatahlagi negeri seperti Indonesia yang berupa benua maritim berbentuk kepulauan, maka dibutuhkan strategi berkebangsaan canggih untuk menyatukan imajinasi kebangsaan bersama. Konsep itu diperkenalkan oleh Benedict Anderson dengan Imagined Communities, komunitas – komunitas yang dibayangkan. 

Lokalitas – lokalitas yang terpisah satu sama lain tersebut menyatu dalam satu komunitas yang dibayangkan bernama nasion (bangsa). Bangsa Indonesia adalah satu contohnya. Orang di Sabang, Aceh sana, tentu ramai tak mengenal orang di Merauke, Papua sana. Tapi, mengapa mereka bisa merasa memiliki satu identitas yang sama bernama Indonesia? Tentu, tak lain dan tak bukan, karena mereka memiliki satu imajinasi yang sama sebagai sesama anak bangsa: Indonesia. Kebersesamaan itulah yang menjadikan nasion – nasion pada tataran lokal, melalui spirit lokalitas masing- masing, mampu melebur atau menyatu dalam satu identitas baru bernama bangsa atau nasion. 

***

Bangsa adalah jiwa, bangsa adalah lokalitas, bangsa adalah komunitas yang dibayangkan adalah tiga konsep bangsa yang bertalian dengan semangat yang melekat pada sebuah tim sepakbola. 

Sebuah tim sepakbola menjadi kebanggaan para suporternya. Mereka mendukung tim kesayangan dan kebanggaannya sepenuh jiwa. Baik itu, tim di liga tarkam, klub profesional, maupun tim nasional. Jiwa mereka menyatu dengan klub atau tim bola yang disokongnya. Simpulnya, sepakbola  adalah jiwa, mantap sekali. 

Lagi, klub – klub sepakbola di daerah-daerah merupakan milik para suporter di daerah klub itu berasal. Atau, minimal klub tersebut merupakan milik suporter yang mengasosiasikan dan membayangkan diri dan jiwa mereka punya ikatan tradisional dan lokalitas dengan klub tersebut. Di sini berlaku, sepakbola juga terikat dengan ikatan – ikatan tradisional yang boleh jadi kental dengan spirit lokalitas. Hal tersebut adalah sebuah keniscayaan dan sulit dihindari. Sepakbola memiliki ikatan lokalitas yang kuat antara klub dan suporter pendukungnya dimana klub dan tim itu berasal. Sepakbola adalah lokalitas, itu sudah. 

Di sisi lain, keberadaan tim sepakbola nasional tentulah penanda eksistensi sebuah bangsa dan negara. Ramai orang mengenal suatu negara hanya karena tim nasional mereka berlaga di Piala Dunia. Siapa yang mengenal Ghana dan Kostarika di Afrika dan Amerika Selatan sana jika bukan karena tim nasional mereka berlaga di Piala Dunia? Tentu, sebelumnya tak banyak yang tahu. Sepakbola negeri itulah yang menjadikan mereka dikenal dunia.

Di Indonesia sendiri, apa yang mampu menyatukan anak – anak muda dan tetua – tetua yang berbeda pilihan politik dua pemilu belakangan? Apa yang bisa menyamakan rasa kepemilikan (sense of belonging) anak – anak muda di negeri ini terhadap Indonesia? Apakah kesejahteraan ekonomi yang dinikmati bersama secara merata? Ataukan keadilan politik yang membahagiakan secara kolektif? Keduanya tentu diragukan perannya di tengah ketimpangan dan kebelumadilan untuk semua anak muda di semua pelosok negeri hari ini. 

Jawaban salah satunya, meski tak sepenuhnya adalah keberadaan tim sepakbola nasional yang diimajinasikan sebagai kebanggaan dan kesayangan bersama. Terlebih, jika ada representasi (perwakilan) terhadap lokalitas mereka di dalam tim tersebut. Misalnya, orang Papua dan Kalimantan akan sangat bangga jika terdapat “sekampung” mereka yang menjadi bagian dari tim nasional sepakbola kita. Ada rasa kepemilikan yang tinggi di sana. Artinya, Tim Nasional (Timnas) Sepakbola Indonesia boleh dikata merupakan sumber pemersatu imajinasi dari lokalitas – lokalitas yang berserak di seluruh penjuru negeri.

Tak diragukan lagi, bahwa sepakbola merupakan jembatan pemersatu bagi komunitas yang dibayangkan (imagined communities) bernama bangsa (nasion). Termasuk di Indonesia.

***

Dari uraian – uraian di atas, dapatlah dikata bahwa merawat sepakbola suatu negeri, seirama seurgen merawat sebuah bangsa. Barangkali tak berlebihan, jika membaca sebuah bangsa, dapat dimulai dengan membaca bagaimana bangsa tersebut merawat dan mengelola sepakbolanya. Karena, jiwa, lokalitas, dan imajinasi bersama ada dalam sepakbola bangsa itu. Olehnya, merawat sepakbola, termasuk menciptakan dan menjaga rasa keadilan dan sportivitas antar klub (dari beragam asal lokalitas pembentuk bangsa) adalah salah satu kunci dalam menciptakan dan merawat kebangsaan itu sendiri. Kebangsaan kita salah satunya dapat dibaca demikian, melalui keadilan dan sportivitas dalam sepakbola. 

Dengan demikian, sepakbola suatu negeri boleh dibilang adalah cermin kebangsaan negeri itu. Tak terkecuali di Indonesia. Seberapa adil pemilik otoritas dalam sepakbola Indonesia terhadap klub – klub di daerah di setiap pertandingan? Seberapa sportif antar – klub menjamu tamunya dan ketika bertandang di kandang klub lain? Disitu tercermin seberapa terawat jiwa lokalitas – lokalitas untuk mengimajinasikan identitas bersama bernama nasion, bangsa bersama, bernama Indonesia.

Sekali lagi, semua itu, kebangsaan kita, dapat dibaca dari paras depan sepakbola kita. Seberapa bersih pengelolaan pertandingan antar klub? Seberapa profesional dan bersungguh- sungguh pengelolaan tim nasional kebanggaan dan kesayangan para suporter timnas dari Sabang hingga Merauke? Anak muda Indonesia pantas membaca dan menilainya. Karena, di paras itu, wajah bangsa ini tercermin. 

Selamat membaca wajah bangsa ini dari sepakbolanya.

Nasrullah Mappatang merupakan seorang Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman yang sedang melanjutkan studi S3 di Malaysia.

Posts created 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top