Selamat Tinggal, Penyair

Pagi-pagi sekali, di grup Whatsapp Komunitas Mantra Etam ada chat yang masuk. Saat membacanya badanku serasa membeku, pikiranku kosong. Aku coba baca sekali lagi, dan kabar itu tetap sama. Kabar bahwa kawan kami Panji Aswan, begitu sapaan akrabnya, meninggal dunia.

Tanpa terasa air mataku bergulir di pipi, dan jatuh.

Memiliki nama lengkap Panji Asuhan, namun kemudian lebih akrab disapa Panji Aswan, atau beberapa orang juga memanggilnya Mas Pan. Dia adalah seorang penyair dari Samarinda. Selain menjadi penyair, dia juga jadi motor penggerak bagi kesusastraan di Samarinda. Suatu kali ketika ditanya perihal nama, kenapa tidak menggunakan nama lengkapnya yang belakang itu, melainkan menggunakan nama Panji Aswan sebagai nama penanya. Jawabnya, dia tidak mau dipanggil Panji Asuhan karena sering diejek “asu” di kata Asuhannya. Sejauh yang aku tahu, dia memang orang yang mudah akrab pada siapa pun. Jadi, setiap orang merasa ketika candaan itu bukan sedang mengejek, menghina atau bermaksud bullying. Melainkan sebagai bentuk keakraban.

Sejauh ingatanku juga, aku akrab dengannya itu karena beberapa kali bertemu di kegiatan-kegiatan komunitas ataupun kegiatan pergerakan di Samarinda. Dia hampir selalu terlihat di kegiatan sastra ataupun pergerakan. Ketika Aksi Kamisan Kaltim dia terlihat, di diskusi pergerakan dia terlihat, di kegiatan sastra apalagi. Sungguh aneh dan tak komplit rasanya kalau dia tidak ada.

Suatu kali di kegiatan Malam Puisi Samarinda, pada Tahun 2019. Dia membacakan puisi dengan begitu ekspresif dan nyentrik. Yang ketika melihatnya aku nyengir dan berkata dalam hati, “Penyair”. Dia muncul dari lantai dua kedai Aksara Kopi dan Buku, turun melalui tangga sambil memegangi kertas, kemudian dengan suara yang lantang membacakan bait-bait puisi. Dia berdiri sambil menebar pandangan ke seluruh forum, dan entah mengapa, mungkin sebelumnya dia juga sudah mempersiapkan adegan ciamik ini: dia tertidur. Sebentar saja, mungkin sekitaran waktu 10 detik. Dan kemudian dilanjut dengan tepuk tangan hadirin. Itu kesan pertamaku melihatnya.

Selanjutnya aku juga sering melihatnya di Panggung Aksi Kamisan Kaltim, dia rutin membacakan puisi. Dan pertama kali dia menegurku, alhasil kami saling mengenal dengan baik. 

Pada aksi-aksi demonstrasi dia juga hadir, tapi sepertinya dia tidak terlibat sebagai massa aksi, ataupun jadi perangkat aksi. Dia, yang kutahu datang sendiri, kemudian nanti pulang sendiri. Pernah kulihat dia seperti sedang menonton mereka yang sedang orasi sambil makan tahu gunting.

Pada kegiatan-kegiatan sastra dia turut menjadi dermawan puisi. Puisi-puisi yang dia bacakan itu selalu punya kekuatan, setidaknya menurutku–orang yang tidak mempelajari teori puisi dan sesungguhnya aku pun kuliah di jurusan teknik.

Yang kemudian membuatku merasa akrab dengannya adalah ketika kami sedang ngopi bersama di Kedai Djong yang terletak di Jalan Perjuangan (kini kedai ini sudah tidak ada). Kami membicarakan mengenai penerbitan buku dan ketidakpastian menjadi penulis.

“Jadi awalnya aku mencoba mengirim puisi itu, Wi, nah puisi yang diterima itu dijadikan buku antologi. Dan puisiku lolos,”  jawab Mas Pan saat kutanya kenapa mulanya menulis puisi.

“Semenjak itu terjebak jatuh cinta sama puisi, ya?” ucapku yang langsung membuatnya tertawa.

Asem, diksimu itu, terjebak!” Sambutnya sambil tertawa kecil.

Lah, iya. Kita sudah capek-capek nulis, nerbitkan buku, nyetok, terus ndak laku gimana ndak asem,” Katanya sekali lagi. Kami kemudian tertawa terbahak-bahak. “Jancuk!” Kelakar Mas Pan di tengah tawa kami.

Sejauh yang kutahu dia orang yang sangat sopan, bahkan banyak orang yang juga mengakuinya. Awalnya dia mengeluarkan kata jancuk itu cukup membuatku kaget. Eh, eh, kira-kira begitu responku. Namun kemudian dia mengatkan, Maaf, aku kalau akrab sama orang suka keceplosan,” semenjak itu aku merasa semakin akrab dengannya.

Seiring berjalannya waktu, kami pun semakin akrab kemudian bersepakat mengadakan MANTRA (Malam Apresiasi Seni dan Sastra). Awal mula mengapa aku bisa ikut di kegiatan itu karena ajakan dari Salsa, pengelola Kedai Djong. Setelah setuju, kemudian aku dipertemukan dengan Mas Pan dan salah satu kawan dari Jogja, Adjie Valeria namanya. Kami berdiskusi mengenai apa nama yang akan kami pakai dan kapan mengeksekusi agenda terdekat.

Mas Pan orang yang paling antusias di setiap kegiatan Mantra, dia membawa stok buku yang ada di rumahnya untuk kemudian dipajang dalam pagelaran Mantra. Dari situlah hampir setiap setelah kegiatan, aku meminjam buku koleksinya itu.

Sampai kemudian dia memutuskan keluar dari pengelolaan Mantra, karena satu dan lain hal. Aku memaklumi itu. Semua orang, setidaknya ini menurutku, memiliki kendali atas keputusan yang mereka ambil. Dan seorang Panji Aswan, kurasa punya hak untuk memutuskan bahwa ia tidak membersamai lagi kami di Komunitas Mantra Etam.

Aku ingat sekali saat itu untuk mengklarifikasi alasannya keluar dari Mantra. Ketika itu, aku mengajaknya ngopi sore di Bendungan Folder Air Hitam. Dia orang yang menepati janji, karena aku tahu dia orang yang demikian, oleh karenanya aku pun datang terlebih dahulu ke lokasi sebelum dia datang. Memesan kopi dan duduk sendirian.

Tak lama kemudian dia datang tepat waktu dengan setelan pakaian sederhana. Celana pendek, jaket hitam, dan sendal jepit. Jaket hitam dengan resleting depan terbuka itu seakan menjadi ciri khas dari Mas Pan.

Banyak yang kami obrolkan mulai dari gimana menurutnya kegiatan Mantra sekarang, penerbit buku Racikata yang dibuatnya, perspektifnya mengenai pengkaryaan, dan berakhir pada aku yang meminta untuk dieditkan tulisan naskah bukuku. Untung saja dia mau, setelah kesepakatan sejumlah pengeluaran dana tentunya.

*

Kembali pada suatu pagi di tanggal 11 Mei 2022. Saat itu aku sedang di dapur tempat aku membuka usaha kecil-kecilan. Aku sedang bersiap untuk membuka warung dan sesekali membuka gawaiku. Ternyata di grup Whatsapp ada chat yang memberitahukan bahwa Mas Pan meninggal dunia. Aku tidak langsung percaya. Aku coba buka grup diskusi sastra lainnya, dan kembali coba mengkonfirmasi ke kawan yang juga sama-sama penggiat sastra. Dan ternyata itu benar. Kawan kami, motor penggerak sastra di Samarinda, kini telah naik ke langit bersama puisi-puisinya. 

Selamat tinggal Mas Pan. 

Selamat tinggal Penyair.

Dwi Oktavianto, Komunitas Mantra Etam.


Tulisan di atas merupakan rangkaian tulisan obituari untuk Panji Aswan, kumpulan karya kolaboratif antara Mantra Etam dan Muara Kami.

Posts created 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top