untuk Theo,
aku pernah membaca
puisi sambil menikmati
senja di Tepian Mahakam;
menikmati?
cahaya matahari terbenam
ditutupi tongkang-tongkang
batu bara yang lewat
satu, dua
tiga, empat
dua puluh hingga
akhirnya aku lelah menghitung
lalu menutup buku
dan pulang dengan motor Beat Street
yang spionnya hanya satu–
bukan karena aku miskin
ya mana mungkin.
malam ini aku membaca puisi
di sebuah kedai yang
menolak lupa bahwa Samarinda
dulunya adalah Amsterdam dan
Venesia
pembaca tarot, cosplayer, Hasbi,
hingga tukang cukur
lalu seorang mabuk
yang menangis dan
bernyanyi di atas meja,
di tanganku buku puisi karya Aan Mansyur,
judulnya Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu.