Overthinking

SUAMI 

Malam itu tiba-tiba rindu menyergapku. Mencipta irisan yang perih hingga ke hati. Jantungku bergelora, kantong mataku sebak dengan air mata. Kenangan yang coba aku hilangkan selama ini, tanpa kusadari sudah terperam di bilik hati. Dan kini muncul lagi dengan rasa yang lebih sakit dari kali pertama aku memilikinya.

Aku agak menyesal sudah datang ke kafe itu. Memesan segelas americano, yang semula kukira bisa mengalahkan segala rasa pahit di dada. Dan musik itu mengalun tanpa permisi, liriknya yang ceria tak mampu buat aku gembira, sebab di dalam kegembiraan itu, ada dia. Dia yang dulu aku sayangi, yang dulu aku cintai, tapi pada akhirnya harus aku tinggalkan.

Belum sempat tandas americano yang terus mencipta asap untuk berubah dingin, aku beranjak pergi. Tak mungkin mampu aku menghirup semua rasa pahit bersamaan dengan rasa pahit akan kenangan bersamanya yang tak ubah terus menyiksa. Aku terjang saja hujan. Aku biarkan kemejaku kuyup, tembus sampai ke kulit, biar kenangan itu luntur dan dikalahkan oleh geletak gigiku karena kedinginan.

Dan dia masih hadir dalam proyeksi anganku. Membuat air mataku mengalir bersamaan dengan air hujan yang terus mendera. Rasa di semua dadaku membancuh, lalu tiba-tiba dia bagai berdiri di tengah jembatan yang akan aku lintasi. Tak mungkin aku tega menabraknya, maka aku genggam rem sepeda motorku, hingga ku tersungkur di tengah jembatan sepi diantara genangan air hujan yang mengalir menuju sungai di bawahnya.

Magrib baru saja berlalu saat aku sampai di rumah. Dengan terpincang-pincang aku masuk tanpa mengucapkan salam. Aku melepas sepatu, memeriksa kaki kiriku yang berdarah dibalik celana. Helaan nafasku jelas menyiratkan kelelahan. Tapi aku tahu lelah ini tidak akan usai sebab saat aku mencapai ruang keluarga, aku akan mendapati istriku duduk manis sedang menonton sinetron. Ia tidak terlalu peduli dengan kedatanganku.

Aku berlalu di hadapannya dengan langkah pincang. Saat itu barulah ia sadar bahwa kakiku berdarah.

“Kamu kenapa?” tanyanya tanpa bergeser sedikit pun apalagi sampai menghampiriku.

“Tadi di jalan jatuh dari sepeda motor,” jelasku sesingkat mungkin.

“Sudah tahu hujan, jalan licin, naik sepeda motor ngebut,” nadanya sungguh  membuat aku jengkel. Ia akhirnya bangkit walau dengan enggan, lalu menyuruhku duduk. “Aku akan ambilkan obat merah dan perban,” ucapnya.

Aku menurut saja.

Dia mengurus lukaku dengan baik. Tapi tidak bertanya seberapa perih yang aku rasakan saat ia menyiramkan obat merah ke lukaku. Ia juga tidak membuka pembicaraan apa pun. Ia hanya berucap. “Sudah selesai. Kalau mandi jangan sampai basah, aku mau nonton sinetron dulu.”

Aku bangkit tanpa mengucapkan terima kasih, namun aku teringat suatu hal. “Oiya, bagaimana dengan anakmu?”

“Dia di kamarnya. Di skor tiga hari. Aku tak paham dia suka sekali bikin onar di sekolah.”

Aku malas berdebat soal itu, maka aku tidak mengatakan apa pun. Dengan langkah pincang, aku pergi menuju kamar anakku, mengetuk pintunya beberapa kali sambil memanggil namanya. Namun ia tidak menjawab, pintunya pun terkunci.

Aku sudah sangat lelah. Aku ingin segera berbaring.

Saat berbaring, aku bayangkan sebuah keadaan yang mungkin akan berbeda. Andai saja akhirnya aku menikah dengan dia tidak dengan istriku sekarang, mungkin semuanya akan jauh lebih baik.

Aku tidak akan mampir ke kafe itu untuk menghindar dari keluargaku barang sejenak, setelah lelah dicerca oleh bos di kantor. Tidak akan terjadi adegan terjatuh dari sepeda motor. Jika pun aku terjatuh pasti saat pulang aku disambut dengan senyumnya yang manis, ia akan khawatir dengan luka di kakiku, mengobatinya dengan lemah lembut dan pelan sambil membicarakan prestasi anak kami di sekolah. Lalu anakku akan menghampiri kami, memelukku dan bersenda gurau sebelum akhirnya dia mengingatkan ku untuk segera mandi dan solat magrib.

ISTRI

Siang itu kukira aku bisa beristirahat sejenak sambil membuka facebook, setelah dari pagi aku terus disibukkan oleh urusan rumah seperti memasak, mencuci, menyapu, menyetrika beberapa baju, dan banyak pekerjaan rumah lainnya. Namun dering telepon rumah yang berkali-kali berbunyi karena sempat aku abaikan, tidak bisa aku hindari.

Beberapa hari lalu seorang teman memasukkanku ke dalam grup facebook alumni SMA, sudah cukup lama juga aku tidak bertegur sapa dengan beberapa orang yang dulu akrab denganku. Ini terjadi semenjak aku pindah ke Samarinda mengikuti suamiku yang dimutasi kerja. Beberapa dari teman SMA ku sudah hidup enak. Aku membuka profil facebook mereka, memeriksa foto-foto dan status, begitu bahagianya mereka semua. Ada yang menikah dengan pengusaha, ada yang suka traveling dengan suaminya yang orang bule, ada yang suka share foto-foto belanja, sungguh hidup mereka terlihat jauh lebih sempurna dari hidupku. Ah, mungkin saja itu semua tipuan. Gelitikku dalam hati agar rasa iriku tidak tumbuh terlalu besar.

Hingga akhirnya sampailah aku pada profil mantan kekasihku saat SMA dulu. Begitu kaget aku dibuatnya, ternyata ia sudah sukses, punya banyak mobil mewah, punya istri cantik, punya dua anak kembar, dan sering liburan ke luar negri. Jelas semua info itu aku dapatkan dari foto-foto  di facebook yang selalu lebih banyak bicara tanpa kata-kata.

Aku melihat ke sekitar hingga berhenti pada cermin yang memantulkan bayanganku. Begitu menyedihkannya hidup ini. Pikirku sambil menyayangkan mengapa aku malah menikah dengan suamiku yang sekarang dan dulu sempat menolak mantan kekasihku itu saat ia ingin melamarku. Andai saja semuanya tidak berjalan seperti ini, mungkin hidupku jauh lebih bahagia.

Belum pupus aku menyesali semua itu, dering telepon tadi menambah penderitaanku. Dengan enggan aku menjawab salam dari seorang lelaki di ujung telepon. Itu adalah kepala sekolah yang memintaku untuk datang ke sekolah karena anakku berbuat onar.

Sebenarnya aku sangat malas mengurus anak nakal itu. Kucoba menghubungi suamiku tapi tidak diangkat, maka aku tinggalkan pesan tentang kelakukan anaknya. Sesampai di sekolah aku coba menahan rasa malu, dan berjanji pada kepala sekolah akan mendidik anakku lebih baik agar ia tidak lagi berbuat onar.

Rasanya ingin sekali aku berteriak di kantor kepala sekolah pada anakku yang saat itu hanya tunduk sambil menangis. Jujur, aku agak bingung mengapa ia jadi nakal seperti itu, mengapa ia melakukan hal tidak senonoh; menyingkap rok teman perempuannya, padahal sejak kecil kami selalu berusaha mengajarkan hal-hal baik padanya. Menurutku, sepertinya sifat cabul itu ia dapat dari suamiku. Kalau pun bukan, pasti dari pihak suamiku, sebab kakak suamiku itu terkenal sekali suka berbuat cabul.

Sesampai di rumah aku marah besar. Namun anakku tidak mau mendengarkan omelanku, ia malah masuk kamar dan mengunci diri sambil memutar musik cukup keras, andai saja tidak ku matikan saklar listrik mungkin musik itu tidak akan berhenti. Kepalaku pusing, aku butuh istirahat.

Menjelang sore, hujan turun lebat. Sambil memasak untuk makan malam, aku membuka facebook dan mengomentari status mantan pacarku waktu SMA. Setiap kali pemberitahuan berdenting di telepon genggam, aku terus memeriksa takut itu balasan darinya, namun hingga aku selesai memasak, ia tidak membalas komentarku. Mungkin sedang sibuk. Pikirku terus mencoba positif.

Selesai memasak, aku coba bersantai di ruang keluarga menonton sinetron kesukaanku. Namun baru saja duduk manis, suamiku malah datang dengan luka di kakinya. Mengapa selalu saja ada hal yang membuat aku kesal, tapi marah pun tak ada gunanya. Jadi aku bersihkan lukanya, beri obat merah, lalu membalutnya dengan perban.

Karena sudah tak bisa lagi menahan kesal, aku pun berucap cukup lantang “Sudah selesai. Kalau mandi jangan sampai basah, aku mau nonton sinetron dulu.”

Namun bukannya memberi sedikit aku waktu untuk bersantai, ia malah menanyaiku soal anaknya. Aku semakin kesal, walau tidak sampai meledak.

ANAK

Setiap malam sebelum tidur, aku akan membuka album foto yang disembunyikan di bawah tempat tidur. Seingatku album itu aku sembunyikan di sana sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya album itu berada di bawah meja tamu. Aku terkadang heran mengapa album seperti itu suka sekali diletakkan di sana. Mungkin tujuannya, apabila ada orang bertamu maka mereka akan membuka album itu sambil menunggu tuan rumah membuatkan minum, ini semacam pencitraan pada tamu tentang potret kehidupan keluarga yang harmonis, yang bahagia. Karena tidak ada satu pun di dalam album itu yang menunjukkan kesedihan, semuanya terlihat bahagia dan akan selalu seperti itu hingga foto-foto itu rusak dimakan usia.

Aku suka mengingat-ingat waktu saat foto itu diambil. Aku mengingat momennya, kebersamaan, dan kebahagiaan, semua yang sudah lama tidak lagi pernah muncul di keluarga ini. Semua ini bermula tiga tahun lalu selepas ibuku menggugurkan kandungannya. Waktu itu aku baru saja masuk SMP, masa-masa memulai kisah baru dengan orang-orang baru di sekolah serta adaptasi terhadap pelajaran yang semakin sulit.

Aku tahu bahwa ibuku menggugurkan kandungannya dari mendengar  pertengkaran mereka. Saat itu aku sedang menonton film kartun di ruang keluarga, sedangkan mereka bertengkar di dapur. Aku mematikan tv lalu menguping apa yang mereka pertengkarkan. Ayah berkali-kali berucap: “mengapa kau gugurkan kandunganmu?” Suara ibu yang lantang menjawab: “bukannya kamu yang bilang belum siap punya anak karena penghasilan kamu pas-pasan untuk hidup kita!” Aku menutup telinga, berlari ke kamar untuk menghindari suara mereka yang sahut-sahutan semakin keras.

Paginya ketika aku ingin berangkat sekolah dan ayah ingin berangkat kerja, ibu menyiapkan sarapan seperti biasa, namun yang berbeda adalah mereka tidak saling bicara, tidak ada ciuman hati-hati di jalan sebelum berangkat, bahkan untuk saling bertatap mata pun, kurasa mereka tidak melakukannya.

Terkadang aku ingin bertanya pada salah satu dari mereka, namun aku tidak pernah punya keberanian untuk itu. Maka aku juga ikut diam saja sembari berharap bahwa keadaan akan menjadi kembali baik seperti sedia kala.

Hal yang paling aku takutkan ialah perceraian. Jika itu terjadi maka aku akan bagaimana, apakah aku ikut bersama ibu atau ayah, lalu bagaimana jika mereka menikah lagi? Namun semua rasa takut itu semakin lama sirna begitu saja. Sebab sudah tiga tahun berlalu, mereka masih tetap bersama walau tidak pernah lagi sebahagia dulu.

Ayah kerja seharian, bahkan dia suka mengambil lembur di hari libur, pulang kadang sangat larut dan langsung istirahat. Sedangkan ibu biasanya saat aku pulang sekolah ia tidur siang, selepas memasak untuk makan malam ia akan menonton sinetron. Kesempatan kami ngobrol sebenarnya ada, yaitu saat sarapan pagi atau makan malam, akan tetapi jika kami berada di satu tempat yang sama, maka tidak ada yang membuka percakapan.

Di sekolah aku berteman dengan beberapa anak nakal, sebenarnya aku tidak terlalu suka berteman dengan mereka sebab mereka kebanyakan pemalas. Setiap ada PR mereka selalu menyontek dariku, demikian juga apabila ujian, tapi itu mungkin yang namanya timbal balik dalam pertemanan, paling tidak aku bisa sedikit tenang karena anak-anak lain tidak berani mengganggu, karena teman-teman nakalku sangat ditakuti di sekolah.

Dan hari ini aku baru saja diskor dari sekolah karena menyingkap rok teman perempuanku. Aku tahu itu perbuatan salah, namun satu dari teman nakalku membuat taruhan. Aku tidak ingin terlihat seperti pecundang, maka aku lakukan.

Saat di rumah ibu mulai marah-marah, aku mengurung diri di kamar dan memutar musik begitu keras Musik itu tidak bertahan lama, listrik padam tiba-tiba. Aku bosan di rumah, aku  keluar lewat jendela. Sore itu hujan turun lebat sekali. Ah, tak ada salahnya bermain hujan. Pikirku.

Jalan sepi, sepertinya orang-orang memilih untuk menghangatkan diri di rumah. Aku berlari di jalan, berputar mencoba melepaskan semua beban pikiranku, dan saat mencapai sebuah jembatan aku tidak menyadari ada sepeda motor yang melaju ke arahku. Pengendara sepeda motor tadi kaget, ia menggenggam rem sepeda motornya lalu tersungkur, aku yang juga kaget melompat ke samping untuk menghindar, namun celakanya trotoar jembatan yang kecil itu licin, aku terpeleset, kepalaku terbentur ke pagar jembatan, lalu terjatuh ke dalam sungai yang mengalir deras. Saat tenggelam aku melihat warna merah dan setelah itu jadi gulita.[]

Pencinta film yang suka menulis dan menggambar. Karya ilustrasinya bisa kalian temukan di instagram @loganuesjr
Posts created 28

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top