Nussa dan Film Islami Rahmatan’ Lil-alamin

Pada sebuah malam di pertengahan 2019, saya menghabiskan waktu mengobrol dengan seorang senior saya di PPI di sebuah kedai miliknya di Malang. Kami mengobrol tentang banyak hal, salah satunya mengenai penelitian yang dilakukannya untuk tesis S2nya, yaitu mengenai hotel syari’ah.

Dalam penelitiannya ia menemukan satu hal unik, dimana ketertarikan terhadap hotel syari’ah bukan hanya berasal dari mereka yang beragama Islam tetapi juga dari kalangan non-muslim. Dari apa yang ditemukannya, banyak istri-istri non-muslim merasa aman jika suaminya menginap di hotel syari’ah saat sedang dinas atau tugas kerja keluar kota. Hal ini dikarenakan hotel syari’ah yang melarang keberadaan pasangan yang bukan muhrim untuk berada dalam satu kamar membuat para istri merasa aman dari kemungkinan suami-suami mereka untuk berbuat macam-macam.

Obrolan itu berkelindan dengan apa yang saya alami sendiri saat berada di kota itu. Saat perjalanan saya ke Malang, saya menginap di salah satu guest house syari’ah. Saat itu ada penghuni lain yang merupakan seorang ibu dengan satu anak, setelah kami mengobrol saya kemudian mengetahui bahwa ia merupakan seorang Katolik. Ketika saya bertanya alasan mengapa ia memilih guest house itu sebagai tempat menginap, ia menyatakan bahwa di kisaran harga yang ditawarkan, guest house syari’ah tersebut adalah tempat paling aman untuk ia dan anaknya menginap.

Kalis Mardiasih, dalam salah satu kolomnya di Detik yang berjudul Sekolah Islami, Perumahan Islami, Daycare Islami pernah menggambarkan kekhawatirannya akan eksklusivitas yang dibangun dengan adanya segala sesuatu yang berembel-embel islami atau syari’ah. Namun apa yang saya tuliskan di atas justru menunjukkan bagaimana itu tidak sepenuhnya benar.

***

Saya menonton film Nussa dengan ajakan dari salah satu teman baik saya, Sheila Medina yang saat itu sedang menyelenggarakan acara nonton bareng untuk komunitasnya.

Saya mengiyakan ajakan menonton film itu tanpa ekspektasi berlebih, namun dengan sedikit rasa syukur di hati bahwa akhirnya anak-anak dari keluarga kelas menengah Muslim mempunyai sebuah tontonan yang ramah untuk mereka—pernah suatu kali, saya pergi menonton pemutaran film Ayat-Ayat Cinta 2 dan disana ada seorang ibu berjilbab yang membawa anaknya yang masih kecil.

 Greg Fealy dalam Consuming Islam: Commodified religion and aspirational pietism in contemporary Indonesia (2008), memaparkan bagaimana setelah reformasi, tumbuhlah apa yang disebut sebagai ‘kaum kelas menengah Muslim’. Golongan ini merupakan penyebab munculnya embel-embel Islami atau syari’ah pada berbagai produk dan komoditas. Bagi golongan ini juga, embel-embel Islami atau syari’ah itu memberikan rasa aman tersendiri.

Mungkin itulah alasan ibu berjilbab itu membawa anaknya untuk menonton pemutaran Ayat-Ayat Cinta 2. Label Islami yang disematkan terhadap film itu membuat  ibu itu merasa aman untuk membawa anaknya menonton. Namun saya rasa kita dapat sama-sama setuju bahwa film itu jelas bukan tontonan yang tepat untuk anaknya.

Maka kehadiran Nussa pun, saya rasa, menjadi sebuah angin segar setelah sejak lama tidak ada film Islami yang bisa disebut ramah anak setelah Hafalan Sholat Delisa.

Namun ternyata, Nussa menghadirkan sesuatu yang melewati ekspektasi saya. Seharusnya dari awal saya memang tidak membatasi ekspektasi saya saat mengetahui bahwa Visinema Pictures terlibat dalam proses produksi film ini. Terbukti Visinema Pictures dapat menghadirkan tontonan yang lebih dapat ditonton semua orang, tidak sekedar anak-anak dari keluarga kelas menengah Muslim. Berbeda dengan serialnya di Youtube yang (setahu saya) kental dengan narasi agama, film Nussa menghadirkan narasi agama secara proporsional, dan tanpa merusak semesta Nussa yang telah dibangun, Visinema menekankan fokus ceritanya pada dua hal, yaitu: drama dan keluarga.

Lihat saja konflik-konflik yang hadir dalam jalan cerita Nussa; Nussa yang ingin menjadi juara satu Science Fair, Joni yang kesal karena orang tuanya yang terlalu sibuk bekerja hingga tidak menaruh perhatian padanya–konflik-konflik yang hadir dalam film Nussa merupakan sesuatu yang dapat dirasakan oleh semua orang.

Tak hanya itu, film Nussa juga menghadirkan representasi-representasi yang meskipun sederhana namun penting.

Karakter Nussa sendiri misalnya, seorang anak dengan kaki bionik menjadi sebuah representasi yang menarik untuk kaum disabilitas. Meskipun mungkin representasi yang hadir tidak sekompleks karakter Tyrion Lannister di Game of Thrones, namun representasi disabilitas di film Nussa  menghadirkan sebuah representasi berbeda terhadap kaum disabilitas di industri hiburan Indonesia yang biasa terjebak pada dua hal; antara menjadi objek rasa kasihan yang berlebihan atau bahan olok-olok seperti yang hadir dalam karakter Azis Gagap dan Pak Bolot.

Disini, Nussa digambarkan sebagai seorang anak kecil pada umumnya; mempunyai rasa cemburu pada temannya yang lebih hebat, marah pada ayahnya yang tidak kunjung pulang dari Amerika. Bukan hanya penggambaran ini ramah disabilitas, namun dalam konteks film Islami, karakter utama yang manusiawi seperti ini merupakan sebuah pembaruan. Lihat saja karakter-karakter di film-film Islami dalam beberapa dekade terakhir seperti Azzam di Ketika Cinta Bertasbih, Pras di Surga yang Tak Dirindukan, atau Rangga Almahendra di 99 Cahaya di Langit Eropa yang cenderung sempurna dan tanpa cela.

Film Nussa juga menghadirkan representasi menarik untuk keadilan atau kesetaraan gender. Representasi itu hadir dalam salah satu adegan sederhana dimana setelah Abba memberi hadiah untuk Nussa, Rarra adik perempuan Nussa dalam film ini dihadiahkan sebuah mobil balap. Adegan ini jujur cukup mengagetkan bagi saya yang awalnya menyangka Rarra akan dihadiahkan sesuatu yang ‘feminim’ seperti boneka atau rumah-rumahan—narasi yang umum terjadi di kalangan kaum konservatif. Namun, film Nussa dengan supervisi Visinema Pictures dapat menghadirkan representasi yang adil terhadap gender lewat salah satu adegan sederhananya.

Saya teringat bagaimana sepupu perempuan saya yang masih SD diejek oleh temannya karena mengutarakan keinginannya agar bisa mengikuti ekskul futsal atau basket. Ia diejek karena dianggap memilih olahraga yang ‘khusus untuk laki-laki’ dan sebagai perempuan ia ‘tidak sepantasnya’ mengikuti kegiatan ekstrakuler tersebut. Mengingat pengalaman pribadi ini membuat saya yakin pentingnya narasi-narasi sederhana untuk keadilan gender seperti yang digambarkan dalam film Nussa.

Akhir kata, film Nussa dengan slogan #NussaUntukSemua yang dibawanya hadir menjadi tontonan yang bukan hanya ramah bagi anak kaum kelas menengah Muslim namun juga bagi semua orang. Menjadi tontonan yang tidak eksklusif namun inklusif dan representatif—sebuah film Islami yang rahmatan’ lil-alamin.

Posts created 32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top