Memangnya Kenapa dengan Bermalas-Malasan?

“Hidup yang tak dipertaruhkan tidak akan dimenangkan,”

Demikian ungkapan Sutan Sjahrir yang termahsyur dan mejeng di buku sejarah sampai media sosial. Hidup pada dasarnya adalah pertaruhan, karena ia merupakan gerak dari satu tapak ke tapak lainnya yang penuh dengan segempok pilihan. Seringkali pilihan-pilihan itu mudah, sisanya sulit dan dapat menentukan secara signifikan sisa hidup yang belum dijalani manusia.

Tapi, Sjahrir membawa kehidupan lebih jauh lagi. Pertaruhan itu tak hanya soal keterberian kehidupan saja, tetapi lebih tentang bagaimana manusia membawanya ke aras yang lebih taksa dan tak terprediksi. Hidup memang soal pilihan dan pertaruhan, tetapi seseorang yang sudah menentukan hidupnya secara konformis, dengan sekolah, kerja, menikah, punya anak, dan mati, tak memiliki nilai pertaruhan yang tinggi. Manusia bertaruh, tetapi pada suluk yang mudah dilalui dan diprediksi. Seperti menonton film yang mudah ditebak ending-nya.

Apa yang dimaksud Sjahrir justru sebaliknya. Hidup yang dipertaruhkan adalah kehidupan yang tak mudah ditebak. Kehidupan itu diraih, ketika manusia memilih pilihan-pilihan yang konsekuensinya akan menggiringnya ke arah yang tidak jelas. Kehidupan ini, adalah dengan menunggangi ombak yang mengamuk, tak mudah ditebak mengarahkan diri si manusia ke mana. Dan pilihan manusia ada dua: mencoba menguasaisang ombak atau membiarkan ombak itu yang membawanya ke manapun ia suka tanpa harus berkuasa penuh atas si ombak..

Dalam budaya populer, kutipan Sjahrir menjadi pegangan banyak orang. Tanpa memegangnya, orang-orang juga sudah melaksanakannya. Masyarakat neoliberal adalah masyarakat yang diproyeksikan menjadi individu-individu yang bebas. Setiap manusia berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa bisa diatur siapapun, negara atau orangtua. Orang-orang bergairah membawa semangat ini.

Kehidupan yang dilempar ke dalam kebebasan itu dengan sendirinya semakin menyingkap sisi pertaruhan yang ada. Kebebasan, membawa manusia pada tumpukan pilihan yang semakin rumit. Memilihnya akan jadi kerja berat, tapi itulah kebebasan. Kehidupan menjadi benar-benar hidup yang dipertaruhkan.

Kebebasan itu beragam jenisnya dan sangat relatif. Dalam konteks masyarakat neoliberal, kebebasan cenderung identik dengan konsepsi materialistis. Kebebasan, berarti menjadi individu dengan sepenuh haknya. Karenanya, individu tak dapat diganggu gugat tiap kehendaknya. Individu bebas mengalir di manapun, asal ia mau bertindak. Ia yang miskin boleh menjadi kaya, asal mau bertindak. Yang gagal boleh sukses, asal mau bertindak. Tak ada hambatan absolut untuk bertindak mengubah status, seperti dalam kelas-kelas masyarakat feodal.

Konsekuensinya, masyarakat kita adalah tipe yang terus berusaha memaksimalkan kebebasannya untuk merealisasi kehendak-kehendaknya. Manusia percaya dengan berjuang sampai penghabisan, dengan mempertaruhkan waktu-waktu kehidupannya untuk the greater cause, ia akan mencapai kejayaannya.

Orang-orang berlomba-lomba mencapai the greater cause itu. Orang-orang bekerja keras untuk menggapai kehidupan yang mapan di masa depan. Waktu muda sampai kesehatan tak jarang dipertaruhkan. Hidup dipenuhi dengan kerja yang menjadi jalan pertaruhan itu. Menjadi sibuk adalah pertaruhan yang dimaksud. Semuanya berlalu amat cepatnya, istirahat atau melenceng dari keseharian padat itu, bagai masuk pit stop sewaktu balapan belaka: mengganti yang aus agar bisa kembali melaju kencang. Intinya, seperti yang diungkapkan oleh Byung Chul Han dalam Burnout Society, kita adalah masyarakat dengan imperatif “bisa” daripada “harus”. Karena “bisa”, pertaruhan dipahami sebagai keharusan untuk menggapai apa yang jadi tujuan dari “bisa” itu.

Hidup yang dipertaruhkan, dengan memahaminya melalui lensa budaya populer, ia cenderung dipahami sebagai seperangkat cara-cara tertentu dalam hidup untuk menggapai tujuan tertentu. Tujuan itu acap kali berasal dari ideal-ideal neoliberal serba individualis dan materialistis. Dengan tujuan ideal itu, hanya seperangkat pilihan dan cara hidup saja yang dikehendaki, sementara yang lain disingkirkan.

Kerja, punya target, mengambil kesempatan, taktis, teratur adalah cara-cara yang biasa dianut untuk bertaruh. Sementara, malas, istirahat, bermain-main, usil, atau tidak teratur adalah cara-cara hidup yang cenderung dihindari. Untuk bertaruh, berarti memaksimalkan kinerja diri untuk meningkatkan tingkat “bisa” dalam mencapai tujuannya. Pilihan untuk “bisa” itu macam-macam ragamnya di kehidupan individualistik ini.

Manusia, dalam kehidupannya, merapat pada semangat umum itu, dan menjadikan mode kehidupannya seragam. Hidup yang dipertaruhkan menemukan homogenitasnya; ia pun berubah menjadi semacam banalitas belaka, dengan impotensi manusia untuk merenungkan maknanya yang lebih beragam di luar mode-mode kehidupan umum yang dikehendaki untuk hidup yang dipertaruhkan. Dengan melakukan cara hidup yang dipandang negatif, manusia merasa bersalah, merasa di zona nyaman, dan merasa berada pada “hidup yang tak layak dimenangkan.” Mereka terus mengebut dirinya dengan menjaga kehidupan berada pada aras yang diterima secara positif.

Akan tetapi, hidup yang dipertaruhkan itu tidak berada pada cara hidup yang serba cepat dan teratur itu saja. Justru, pertaruhan itu berada pada cara hidup yang sebaliknya: menganggur, malas, bersantai, atau bersenang-senang belaka. Ia bertaruh karena ombaklah yang membiarkan dirinya dibawa ke manapun tanpa kehendak yang muluk untuk menguasai sang ombak. Di tengah dunia yang kacau dan cepat, ia berani bertaruh untuk melamban dan tak perlu muluk mengharapkan masa depan apa yang ia menangkan.

Manusia ini tak ingin kemenangan yang serba materialistis, terkontrol, dan punya kriteria; kemenangannya, justru terletak pada perjalanan itu sendiri, sampai mati. Ia mengembalikan keseluruhan daya kemanusiaannya, dengan meninggalkan kerja untuk merawat dirinya, dengan bermalas-malasan, dan bercinta untuk menggapai kedalaman sang Eros. Manusia ini, bertaruh, untuk mengalami lebih banyak lagi — pertaruhan sejati — , daripada hanya pertaruhan untuk kemenangan yang sangat banal. Hidupnya dimenangkan, dengan berani menjelajahi mode-mode kehidupan yang ditakuti masyarakat. Dengannya, manusia membebaskan dirinya dengan mampu mengeksplorasi keberagaman mode-mode kehidupan untuk bertaruh. Pun, ia juga membebaskan sisi manusia yang terepresi, sebagaimana keinginan untuk bermalas-malasan yang ditakuti karena dianggap tak produktif.

Jadi, siapa takut bermalas-malasan? Jika bermalas-malasan, adalah pertaruhan yang harus dimenangkan dalam hidup?

Posts created 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top