Kayu Naga Korrie dan Upaya Pertobatan Ekologis

Artikel Joan Damaiko Udu di Kompas bertarikh 19 Mei 2020 dengan judul Covid-19 dan Pertobatan Ekologis benar – benar mengganggu kepala saya sebagai warga yang beberapa tahun terakhir hidup dan tinggal di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Timur. Bukan apa apa, di Bumi Etam (Bumi Kita), sebutan dari Kalimantan Timur, persoalan ekologis adalah makanan sehari – hari, khususnya mengenai air. Saya merasa orang – orang yang berurusan dengan Lingkungan hidup di Kaltim belum tobat-tobat. 

Sejak Korrie Layun Rampan menerbitkan kumpulan cerpennya Kayu Naga pada tahun 2007, kondisi sepertinya tak berubah jadi lebih baik. Di Kayu Naga ada sepuluh cerpen Korrie yang dibukukan di dalamnya. Dari sepuluh itu, hampir semuanya bercerita secara kritis tentang kondisi alam Kalimantan Timur. Hutan, sungai, danau, ladang, dan sawah di Kaltim, khususnya Kutai Barat, tempat asal Korrie, diceritakan. 

Dalam cerpen – cerpen di buku Kayu Naga (2007), khususnya dalam cerpen berjudul Danau Bengkirai dan Kampung Beremai, Korrie dengan lihai lagi kritis menggambarkan respon alam terhadap ulah tangan manusia yang begitu otoritatif kepada alam sekitarnya. Persis yang di gambarkan Udu (2020) tiga belas tahun kemudian ketika pandemi COVID-19 menyerang manusia di bumi. Namun, lagi dan lagi, pertobatan ekologis sepertinya masih jauh panggang dari api. 

Puluhan tongkang dengan gunungan hitam berjejer di Sungai Mahakam nyaris tiap hari selama pandemi sekitar tahun 2020-2021. Perut Bumi Etam seperti tak berhenti dikeruk walau pandemi virus Korona menyerang. Pun, peringatan demi peringatan seperti tulisan Udu di atas membuat penggali hutan- hutan Kalimantan seperti tak ada tobatnya. Karya – karya Korrie dan Udu seperti tak cukup untuk membuat peringatan untuk menjaga dan memulihkan alam Kalimantan. Minimal, mengistirahatkannya sejenak dari senso, eskavator, dan buldoser selama pandemi.

Namun, seperti kata Udu dalam artikelnya, cerpen – cerpen Korrie pun bercerita pasal respon balik alam kepada manusia itu sendiri. Udu menegaskan bahwa,

“Sulit dibantah, musibah ini muncul sebagai ancaman sekaligus resistensi balik alam terhadap kecongkakan kita selama ini. Alam tahu mempertahankan diri, menyembuhkan lukanya, dan bahkan tahu untuk memusnahkan spesies yang tidak lagi mendukung keberlanjutannya.”

Dalam cerpen Danau Bengkirai, Korrie menulis, 

“Tak sempat aku memperhatikan dengan lebih seksama tiba – tiba kurasakan panggung upacara seperti ditarik ke bawah.

……

“Suara itu bagaikan koor yang memanjang dan serentak pohon – pohon tumbang dan menghumbalang sana – sini, gempa yang dahsyat telah melanda Danau Bengkirai, dan mataku sempat menangkap gerakan meluncur tempat penangkaran binatang – binatang yang selama ini kukerjakan.” (188)

……

“Tempat penangkaran binatang roboh bersama tanah longsor. Tanah terbelah!!!

Tiba – tiba orang bertempasan diserang sesuatu yang menakutkan. Apakah hantu atau binatang buas. Diantara kegaduhan itu mataku menangkap ratusan buaya merangkak di atas tanah menuju danau berikut ratusan ular sawah, ular senduk, dan ular besisi yang melata mencari kawasan aman.” (189)

Di dalam cerita Danau Bengkirai di atas Korrie menceritakan usaha wisata penangkaran binatang liar yang dijalankan oleh tokoh Aku. Usaha tersebut telah menelan banyak biaya namun di hari peresmian yang dihadiri pejabat, pengusaha wisata, dan orang ramai itu, tempat di tepi Danau Bengkirai itu tiba-tiba  terjadi bencana dan binatang – binatang yang ditangkarkan semuanya lepas dan kembali ke habitatnya semula, termasuk ke Danau Bengkirai. 

Maknanya adalah binatang – binatang tersebut ingin kembali ke habitatnya. Dan, alam yang selama ini dimanipulasi untuk kepentingan bisnis pariwisata sang tokoh Aku melakukan proses “recovery”-nya melalui proses yang oleh manusia disebut sebagai “bencana”. Baik itu berupa gempa, tanah longsor, badai, maupun banjir. Korrie menggambarkan apa yang Udu tekankan pada tulisannya di atas. Bahwa alam punya cara untuk mempertahankan diri dan menyembuhkan lukanya sebagaimana Timothy Morton (2015) juga perkenalkan dalam karyanya Being Ecological dan The Non-Human Turn (2016).

Selanjutnya, pada Kampung Beremai, Korrie menggambarkan bagaimana alam memberikan responnya kepada ulah manusia dengan, 

“Aku berusaha berteriak, tetapi leherku sudah tercekik belitan seekor ular raksasa. Apakah badan ular itu sebesar pohon kelapa?

Apakah ular itu juga sedang bercinta seperti aku dengan Ja yang sebentar lagi akan menikah? Atau ular itu kelaparan karena tak ada lagi babi dan ayam yang dilepaskan? Atau hutan habis digunduli untuk lahan HTI dan sebagian lahan HPH terbakar sehingga tak ada lagi binatang yang bisa diburu? Tak ada kodok tak ada tikus di sawah karena sudah dibasmi petani?” (177)

Aktivitas industri kehutanan melalui izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH) telah membuat binatang – binatang liar yang selama ini hidup di dalam hutan keluar ke sawah – sawah petani dan ke kampung – kampung untuk mencari makan. Habitat mereka diganggu oleh manusia sehingga memaksa mereka untuk mempertahankan hidup dengan menyerang manusia itu sendiri. Berubahnya siklus rantai makanan membuat binatang – binatang pemangsa yang selama ini hidup di hutan terdesak keluar untuk bertahan hidup.

Bahkan, aktivitas pertanian modern yang memandang kodok dan tikus sebagai hama yang perlu dibasmi turut mengganggu siklus rantai makanan ekosistem sekitar sehingga hewan – hewan predator seperti ular sawah harus keluar mencari mangsa di luar habitat lazimnya. Jadilah ular sawah kelaparan dan memangsa yang didapatinya, termasuk manusia. Tak peduli manusia itu calon pengantin baru pula atau bukan. Semua disikatnya.

Kisah dan peristiwa yang dihadirkan Korrie dalam ceritanya di atas adalah penggambaran terhadap dampak dari ekosistem yang rusak oleh tangan – tangan manusia di Bumi etam sekitar tahun 2000-an awal. Kita boleh menilai bagaimana keadaan kekinian di hutan – hutan Kalimantan Timur.

Baik melalui karya karya Korrie Layun Rampan maupun artikel Joan Damaiko Udu, kita pantas untuk melakukan refleksi mendalam di dekade ketiga abad ke-21 ini. 

Sudahkah pertobatan ekologis terwujud di Bumi Etam? 

Posts created 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top