Jurnal Tepi Mahakam – Wajah Perkampungan Di Pesisir Mahakam

Dahulu, ketika saya pulang kampung dari Samarinda ke Muara Pahu menggunakan kapal taksi menyusuri sungai mahakam, hal itu tidak membuat saya merasa istimewa. Namun beberapa tahun belakangan ini saya coba menikmati perjalanan itu dengan duduk di teras depan kapal taksi lantai dua. Momen paling saya tunggu ialah ketika senja dan biasanya kapal akan sampai di kampung Muara Muntai, rumah-rumah rakit yang bergoyang karena gelombang berlatar belakang hutan mulai menggelap dengan langit kemerahan, indah sekaligus membuat saya merasa tentram.

Kita sering kali terlambat melihat keindahan di sekitar kita, dan terobsesi dengan tempat-tempat di daerah lain yang sangat jauh, hingga akhirnya kita tidak begitu tahu bahwa di daerah kita ada banyak tempat indah dan unik yang bisa kita kunjungi. Jurnal Tepi Mahakam mencoba memotret hal-hal semacam itu lewat ilustrasi bernuansa cat air dengan narasi penting yang menambah wawasan.

Jurnal Tepi Mahakam adalah karya Ramadhan S. Pernyata. Sebelumnya ia pernah menerbitkan novel grafis berjudul Ratusan Jiwa Untuk Sangasanga (2015). Ramadhan juga seorang dosen serta pendiri Jinantra Studio. Saya sangat bersyukur ia mau meluangkan waktunya untuk membuat cergam penting ini. Atmosfer yang ditampilkan dalam setiap ilustrasi berhasil membawa ingatan saya kepada kampung halaman secara nyata; air sungai Mahakam yang coklat dengan lalu-lalang ketinting, kesibukan warga di rakit-rakit, rumah panggung tinggi dan jalan jembatan dengan pembatas hitam putih di kedua sisinya. Saya rasa semua ini sangat mewakili gambaran perkampungan yang ada di pesisir sungai Mahakam.

Secara garis besar, Jurnal Tepi Mahakam bercerita tentang perjalanan karakter bernama Bagas menggunakan sepeda motornya “Si Merah”  menyusuri daerah sungai Mahakam tengah, tepatnya di Desa Pela, kecamatan Kota Bangun, Danau Semayang dan kampung sekitarnya. Layaknya sebuah jurnal, buku ini coba mencatat hal-hal menarik sekaligus penting, baik itu tentang struktur bangunan, jenis fauna, gaya hidup masyarakat, tempat wisata, akses, dan yang terpenting yaitu soal konservasi alam serta pemberdayaan sosial.

Di salah satu bagian dari buku ini ada juga pembahasan tentang Pesut. Mamalia air tawar yang dikenal sebagai fauna khas Kalimantan Timur. Saya selalu ingat, dulu saat saya masih kecil, kawanan Pesut sering kali terlihat muncul ke permukaan sungai Mahakam, namun sekarang hewan yang dikenal sebagai lumba-lumba air tawar ini sangat jarang bisa ditemui karena jumlahnya yang semakin sedikit. Kalau pun “beruntung” saat ini kalian hanya bisa melihatnya di daerah-daerah tertentu dan musim-musim tertentu saja. Di buku ini hal itu dibahas; mengapa Pesut semakin sedikit, apa tindakan yang telah diambil masyarakat dan pemerintah, dan mengapa ini menjadi penting?

Jurnal Tepi Mahakam juga menceritakan tentang dua danau di Kalimantan Timur, yaitu Danau Semayang dan Melintang. Dua danau yang apabila di musim penghujan akan menyatu menjadi perairan yang luas, sedangkan di musim panas akan mengering menjadi seperti padang rumput. Dan hal lain yang unik dari kedua Danau ini adalah pemukiman warga yang ada di sekitarnya. Ditambah lagi sekarang kedua Danau ini dikelola oleh masyarakat setempat untuk dijadikan tempat wisata. Kapan lagi kalian bisa menikmati keindahan danau yang luas sembari berbaur dengan kesibukan warga sekitar yang kebanyakan adalah nelayan.

Setelah membaca buku ini, saya berharap kedepannya cergam seperti ini bisa menjadi inspirasi bagi anak muda di Kalimantan Timur untuk berkarya sembari membawa misi tentang perkenalan budaya dan tempat pariwisata di Kalimantan Timur. Ada banyak kepingan dari “reruntuhan surga” di Kalimantan yang indah dan eksotis tapi belum diketahui oleh masyarakat luas di dalam dan luar negri. Dan ini menjadi sangat penting, karena pengembangan pariwisata bisa menjadi bagian dari roda perekonomian masyarakat yang hidup disekitarnya, selagi semua itu dikelola dengan cara yang benar tanpa merusak lingkungan dan alam.

Pada akhirnya semua butuh kerja sama kita untuk menjadikan tempat tinggal kita lebih baik, Bersama-sama kita bisa melakukan banyak hal, seperti yang Thomas Arya katakana dalam lirik lagunya yang berjudul Bunga; “Jangan biarkan diriku dalam keseorangan”. 

NB: Jika kalian tertarik untuk memiliki cergam ini, kalian bisa cari tau caranya lewat Instagram @jinantrastudio

Foto: Dokumentasi pribadi

Pencinta film yang suka menulis dan menggambar. Karya ilustrasinya bisa kalian temukan di instagram @loganuesjr
Posts created 28

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top