Inklusivitas dan Merayakan Sinema Bersama Semesta Marvel

Saya tidak pernah membaca komik-komik Marvel—di antara komik Marvel dan DC, saya justru hanya pernah membaca komik DC, meskipun komik DC yang saya baca hanyalah komik-komik karya Alan Moore seperti Watchmen dan V For Vendetta. Pun saya bukan pula orang yang mengikuti film-film Marvel sejak awal, kecuali hanya melihat sekilas film-film mereka di televisi atau menontonnya saat diajak bersama teman di bioskop. 

Perkenalan saya yang sesungguhnya dengan film-film Marvel (yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe (MCU), tentu saja) baru bermula saat saya menonton Avengers: Infinity War, film yang kemudian membuat saya menonton film-film Marvel yang lain dari awal. 

MCU memberikan sebuah pengalaman yang benar-benar baru dalam menonton film yang tidak saya dapatkan saat menonton film-film Christopher Nolan ataupun Woody Allen. MCU membuat saya merasakan bagaimana ketika sinema dirayakan oleh banyak orang. 

Inklusivitas Dalam Karakter Marvel Cinematic Universe

Inklusivitas awalnya merupakan sesuatu yang menjadi kritikan terhadap MCU, bagaimana MCU dianggap didominasi oleh karakter kulit putih dan menjadikan karakter perempuan (Natasha Romanoff atau Black Widow) dan kulit hitam (James Rhodes atau War Machine) hanya sebagai karakter side-kick semata. 

Namun hal itu mulai terbantah dengan munculnya karakter Black Panther (yang sebelum memiliki film solonya sempat muncul di Captain America: Civil War) dan karakter Captain Marvel yang kemudian menjadikan orang berkulit hitam dan perempuan sebagai tokoh utama.

Karakter Captain Marvel atau Carol Danvers sendiri merupakan sesuatu yang menarik, dimana karakter perempuan ini hadir dengan melepaskan diri dari male-gaze yang selama ini menyajikan karakter perempuan untuk memanjakan mata laki-laki-maskulin-heteroseksual. 

Captain Marvel, berbeda dengan Wonder Woman di DC yang (sayangnya) masih menampilkan karakter feminin dengan baju ketat dan minim yang memamerkan belahan dada dan paha, justru menjadi anti-tesis terhadap stereotip karakter superhero perempuan. Karakter Captain Marvel yang diperankan oleh Brie Larson, bukan hanya tidak menampilkan kostum yang tidak seterbuka Wonder Woman, saat mencoba berbaur dengan penduduk Los Angeles. Pun Danvers memilih kaos band rock Nine Inch Nails, kemeja flanel, jaket kulit, dan celana jeans—berbeda dengan karakter Diana atau Wonder Woman yang saat tidak sedang menjadi pahlawan super pun tetap memakai gaun feminin yang memanjakan mata bukan hanya karakter laki-laki di sekitarnya, namun juga konsumen-konsumen pria yang menontonnya. 

Tentu saja kehadiran karakter-karakter yang kemudian merepresentasikan kulit hitam dan perempuan (yang kemudian juga merepresentasikan karakter orang Asia dengan hadirnya Shang-Chi) tidak mengakhiri kritik yang muncul terhadap Marvel Studios. Ada anggapan bahwa hal itu semata-mata dilakukan oleh Marvel Studios untuk menjangkau pasar penonton yang lebih luas, yang tentu saja akan menghasilkan pemasukan lebih banyak terhadap film-film mereka.

Tanpa membantah bahwa hal itu sepenuhnya salah, saya rasa hal itu juga tidak sepenuhnya benar. Hal itu dapat dibuktikan menurut saya ketika karakter tuna wicara muncul dalam film Eternals dan serial Hawkeye lewat karakter Makkari dan Maya Lopez. Lebih dari itu, bahkan Lauren Ridloff yang memerankan Makkari di film Eternals pun merupakan seorang aktris tuna-wicara di dunia nyata!

Hal itu bagi saya membuktikan, bahwa inklusivitas yang hadir dalam MCU bukan sesuatu yang semata-mata dilakukan untuk mendapatkan lebih banyak uang, namun juga sesuatu yang hadir untuk merepresentasikan lebih banyak orang dan golongan.

Merayakan Film-Film Marvel di Bioskop

Menonton di bioskop merupakan sebuah pengalaman yang istimewa, yang akhir-akhir ini mulai terancam dengan kehadiran Netflix dan keberadaan pandemi. 

Seperti yang digambarkan oleh Jean Mitry, salah satu kritikus film Prancis yang hidup pada tahun 1900-an, menonton film merupakan pengalaman dimana ‘tiap orang secara sendiri-sendiri hadir, melihat dunia yang diperlihatkan kepada mereka, namun itu tidak memisahkan individu satu dengan yang lain. Mereka tidak berkomunikasi satu sama lain, namun melihat dan merasakan sesuatu bersama.’

Menonton film di bioskop merupakan sebuah pengalaman kolektif yang magis dimana orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain duduk tertawa dan menangis bersama, sebuah pengalaman yang tidak dapat dikalahkan oleh televisi secanggih apapun yang kita punya di rumah, dan MCU membuat kita benar-benar merasakan pengalaman itu secara maksimal.

Lihat saja bagaimana penonton berteriak ketika portal-portal terbuka menolong tiga Avengers yang hampir kalah melawan Thanos, bagaimana penonton bertepuk tangan ketika Steve Rogers mengangkat palu milik Thor, bagaimana penonton menangis gembira saat melihat karakter-karakter yang menemani mereka di masa kecil hadir satu per satu di Spiderman: No Way Home—lihat saja bagaimana adegan-adegan tersebut dirayakan oleh puluhan atau bahkan ratusan orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain di bioskop yang sama, bersama puluhan juta penonton lainnya yang menonton dari berbagai belahan dunia. 

Tidak hanya membuat kita merasakan perayaan-perayaan tersebut, Paul Thomas Anderson bahkan dalam salah satu wawancaranya bersama The New Yorker, dibandingkan merasa film-film Marvel merusak sinema (sikap yang diperlihatkan sutradara Hollywood lain seperti Denis Villeneuve dan Martin Scorsese), ia justru menganggap bahwa Spider-Man: No Way Home adalah penyelamat yang membuat orang-orang datang kembali untuk menonton bersama-sama di bioskop—setelah sebelumnya kebijakan beberapa layanan streaming  untuk menampilkan film bersamaan dengan rilisnya di bioskop sempat membuat orang-orang ketakutan bahwa bioskop hanya akan menjadi kenangan yang tiada lagi keberadaannya selepas pandemi.

***

Ada satu kritikan lain terhadap MCU, film-filmnya mempunyai jalan cerita formulaik yang bahkan dikritik Gerry Canavan dari Marquette University dalam jurnal ilmiahnya yang menyatakan bahwa film-film MCU hanya memberikan kita cerita, namun bukan plot. 

Sekali lagi, tanpa mengatakan itu sepenuhnya salah, saya rasa itu juga tidak sepenuhnya benar. Lihat saja karakter Thanos yang di komiknya hanyalah seorang Titan gila yang ingin mendapatkan pengakuan menjadi seorang yang mementingkan keseimbangan semesta dengan menghilangkan setengah populasi (yang keinginannya itu sendiri bukan hanya sekedar pseudo-science, namun sesuatu yang bahkan diperbincangkan dalam ranah sosiologi seperti dalam Tragedy of The Commons oleh Garret Hardin). Eternals pun juga menghadirkan sesuatu yang benar-benar segar dengan vibenya yang terasa seperti Dune.

Tentu saja, pada akhirnya, saya tetap akan mengakui bahwa 27 film MCU tidak ada apa-apanya dalam hal kedalaman dan kompleksitas cerita dibandingkan dengan The Dark Knight Trilogy karya Nolan.

Namun MCU, seperti yang sudah saya katakan di awal, memberikan saya sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Christopher Nolan atau sutradara-sutradara favorit saya lainnya, ia membuat saya benar-benar dapat merasakan bagaimana rasanya ketika sinema dirayakan.

Posts created 32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top