Darah Yang Mengalir dalam Tubuhku

Emak dan adik beradikku sebenarnya sangat sedih ketika bapak ditanam. Hanya saja kami semua bisa menyimpan perasaan itu di dada kami masing-masing, menahannya agar tidak tumpah dihadapan para pelayat yang hadir.

Malam selepas acara tahlilan, semua orang beristirahat. Karena diantara kami bersaudara hanya aku yang belum menikah—walau aku yang paling tua—maka aku lah yang menemani emak tidur malam itu. Sebenarnya kami tidak tidur semalam suntuk, sebab aku mendengarkan kisah emak tentang kenangannya bersama bapak.

Emak merupakan keturunan asli Dayak Kenyah. Dulu kakek emak punya telinga panjang yang dipasang pemberat anting. Mereka sekeluarga tinggal di rumah adat bernama Lamin. Lamin adalah rumah yang sangat panjang, dihiasi dengan lukisan daun paku simetris berwarna-warni. Orang-orang suku Dayak Kenyah sangat mahir membuat kerajinan tangan dengan manik-manik, mereka juga handal dalam urusan memahat patung-patung Totem.

Emak berjumpa dengan bapak pada saat bapak melakukan penelitian ke perkampungan Dayak Kenyah untuk tugas akhir kuliah. Bapak meneliti tentang kehidupan di sana yang masih terikat oleh adat istiadat.

“Bapakmu itu tidak banyak bicara, namun ia pemerhati yang luar biasa,” Emak berucap sambil tersenyum.

“Tapi setelah tua bapak jadi banyak bicara dan cerewet.”

“Waktu bisa membuat sifat seseorang jadi berubah.”

Lalu emak bercerita kali pertama ia berjumpa dengan bapak. Hari itu emak bersama teman-temannya sedang latihan tari Menyelama Sakai. Bapak yang duduk di pojok sedang asik menyalin beberapa catatannya terkesima melihat gemulai gerak-gerik tari tadi. Para penari mengenakan busana adat tradisional berupa kancet, dan ta’a. Kancet merupakan atasan sejenis rompi tanpa penutup lengan, dan ta’a  ialah rok dengan panjang sebawah lutut. Kancat, dan ta’a terbuat dari kain dasar berwarna hitam berhias manik-manik.

Musik sape mengiringi gerakan tari Menyelama Sakai. Gemulai bulu burung enggang mengepak dan gemericik suara gelang di kedua tangan penari menambah efek melancolis. Bapak mendekat untuk menonton. Putih bersih kulit para penari bagai terang cahaya bulan purnama menambah keterkesimaan Bapak. Dan disela keterkesimaan itu menyelip waktu yang begitu singkat, pada saat kedua mata bapak dan emak berjumpa di peraduan.

Emak berpaling malu-malu, bapak tersenyum dengan jantung berdebar kencang. Semacam ada sungai yang tiba-tiba mengalir di dada mereka, sungai yang bermuara pada satu tempat yang sama. Dan semenjak itu, hampir setiap hari di sela-sela penelitian bapak, ia menyempatkan diri untuk menonton emak latihan menari.

“Kapan bapak akhirnya mengajak emak bicara?” aku tak sabaran menunggu bagian terbaik dari cerita emak tadi.

 “Sebenarnya emak selalu menunggu bapakmu mengajak bicara. Tapi ia terlalu dingin untuk melakukan hal semacam itu.”

Berkali-kali bapak menonton emak menari, tapi tak sekalipun ia berani untuk mengajak emak bicara. Ia tidak menanyakan tentang emak pada orang-orang, ia juga tidak mencari tahu lebih mendalam, ia hanya menyimpannya di hati terdalam dengan berbagai kemungkinan yang ia tahu, bahwa kelak hatinya akan retak.

Sore, kala itu hujan turun lebat. Para laki-laki duduk santai sambil bermain sape. Bapak bergabung bersama mereka sembari belajar mementing sape. Mementing sape bukan perkara mudah, meski pun bentuknya menyerupai gitar, berbadan lebar, bertangkai kecil, sape hanya punya dua senar, dan hanya memiliki empat tangga nada.

Ketika bapak bertanya bagaimana memainkannya agar nadanya tidak sumbang. Salah satu lelaki menjawab bahwa memainkan sape itu mengolah rasa, jari-jari akan dituntun oleh perasaan, jika hati sedang marah, senang, atau jatuh cinta, maka suara sape akan terdengar berbeda. Bapak termangu mendengar jawaban itu.

Sepanjang malam bapak terus memikirkan ucapan laki-laki sore itu. Ia semakin gundah gulana, bayangan emak tak henti-henti muncul, kepakan bulu burung enggang sesekali menutupi bayangan tadi. Hingga fajar tiba dan suara kuak ayam terdengar, bapak tak kunjung terlelap.

“Kenapa bapak jadi pengecut?” aku agak kesal.

“Dia tidak pengecut, tapi paham betul bahwa banyak hal tidak akan mudah,” jelas emak lalu melanjutkan ceritanya lagi.

Kantuk di mata bapak terlihat jelas pagi itu, namun biar dipaksanya pejam, tetap saja ia tak bisa tidur. Maka bapak pun pergi mencari emak, bertanya pada beberapa orang hingga ia pun menemukan emak di pinggir sungai sedang mencuci pakaian. Ingin memanggil, tapi bapak tak tahu siapa nama emak. Ia hampiri hingga jarak mereka hanya sedepa.

Emak kaget, wajahnya berubah malu-malu.

“Aku tak tahu harus berucap apa!” Bapak terserang panik.

Emak tertawa pelan melihat tingkah bapak. “Iya, ada apa,” ucapnya nyaris tak terdengar.

“Semalaman aku tak bisa tidur, aku terus terpikir kau,” bapak jujur namun tatapan matanya tak mampu mengarah langsung ke mata emak.

Emak menyodorkan tangan lalu memperkenalkan namanya. Dengan cepat bapak menyambar tangan tadi dan menyebutkan namanya. Mereka berjabatan tangan cukup lama.

Seekor burung enggang hinggap di atas pohon perepat, tak lama setelah itu datang seekor lagi. Pandang mereka terarah ke sepasang burung Enggang tadi.

“Burung enggang hidup selalu berpasang-pasangan,” ucap emak sambil melepaskan jabatan tangan bapak perlahan.

“Dan mereka tidak bisa hidup tanpa pasangannya,” lanjut bapak pula.

Tanpa kata ungkapan rasa cinta, keduanya sudah paham bahwa mereka sedang jatuh cinta satu sama lainnya. Maka setelah hari itu, mereka jadi sering berjumpa, banyak bertukar kata.

Nada emak bercerita macam sudah hampir mencapai akhir, tapi aku ingin kelanjutan cerita tadi, aku masih diserang penasaran walaupun aku tahu pada akhirnya emak dan bapak akan bersama. “Lalu apa yang dilakukan bapak agar bisa menikah dengan emak?”

“Ada banyak cobaan di setiap harapan, walau Tuhan selalu mencoba manusia tak pernah melampaui batas kemampuan mereka,” saru emak.

Keluarga bapak merupakan keluarga Islam yang taat. Ketika bapak kembali pulang dan bercerita pada orang tuanya tentang niatnya ingin mempersunting seorang perempuan keturunan Dayak Kenyah, kedua orang tuanya menentang keras.

Pertanyaan dasar seperti; apa agamanya? Apakah bapak harus tinggal di sana? Apakah emak mau pindah agama? Menjadi semacam tembok kokoh yang sulit untuk dirintangi. Tapi bapak adalah sosok keras kepala, ia terus meyakinkan orang tuanya, hingga berjanji bahwa emak akan memeluk Islam dan tinggal bersamanya di kota.

Bapak kembali lagi ke perkampungan Dayak Kenyah, menemui orang tua emak dan memberitahu niatnya untuk mempersunting emak. Karena tahu emak dan bapak memang sangat dekat, orang tua emak setuju saja jika anak mereka menikah dengan bapak, namun ketika bapak sampai pada perihal agama, pembicaraan ini menjadi benang kusut yang sulit untuk digerai.

“Sejak kecil ketika melihat acara adat pernikahan,” ucap emak. “Emak selalu berkhayal bisa menikah dengan cara seperti itu,” nada bicaranya penuh kecewa. “Pernikahan suku Dayak Kenyah berlangsung dengan sangat meriah. Upacara adatnya disusun tersendiri, dengan tari-tari dan hiasan manik yang indah. Di hadapan pelaminan biasanya terdapat tajau berhias manik-manik, bulu ekor, dan patung kayu burung Enggang, serta mandau, gong, dan rantai yang melambangkan ikatan janji setia.”

“Jadi bapak membawa emak pergi dari perkampungan?” tebakku berbisik agar serangga malam tak mampu mendengar kenyataan itu.

~

Kali pertama aku melihat rumah Lamin membentang di depan mataku jantungku langsung berdebar gugup. Ukiran tumbuhan paku berwarna warni, patung-patung yang berdiri di halaman itu terasa menatap tajam padaku, aku seperti tertangkap basah sedang mendikte kenangan emak lewat ceritanya dulu ketika bapak meninggal dunia. Aku membayangkan emak latihan menari dan bapak asik mengamati.

Banyak hal sudah berubah di perkampungan Dayak Kenyah tadi, kebudayaan mereka sudah dibumbui modernisasi, kebanyakan anak muda diracuni oleh budaya barat. Jika seperti itu terus maka lambat laun warisan budaya nenek moyang akan punah begitu saja. Oleh sebab itu para tetua adat akhirnya membuat sebuah kegiatan seni adat setiap minggu agar kelestarian budaya tadi terus bertahan. Kini perkampungan itu menjadi tempat wisata budaya yang ramai dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai tempat.

Bersama rombongan wisata aku masuk ke dalam Lamin, kedatangan kami disuguhi dengan tarian-tarian khas suku dayak Kenyah. Magis tarian-tarian itu membuat aku berdencak kagum, alunan musik sape yang merdu menentramkan hati.

Selesai semua upacara tadi aku meminta ijin pada pemandu wisata untuk memisahkan diri dari rombongan barang sejenak, sebab ada seseorang yang ingin aku jumpai di kampungan itu. Pemandu wisata memberiku waktu satu jam sebab wisatawan lain sibuk mengerumuni tempat menjual cinderamata.

Aku bertanya pada beberapa orang yang ada di perkampungan tadi tentang perempuan yang ingin aku jumpai. Tak perlu lama mencari karena hampir semua orang tahu dengan perempuan tadi. Saat aku sampai pada rumah yang ditunjukkan, aku melihat seorang lelaki tua dengan telinga panjang hingga bahu, anting-anting yang dikenakannya sepertinya sudah lama terpasang di telinga itu.

Ketika kuajak bicara lelaki tua tadi tidak terlalu merespon, mungkin ia tidak terlalu mendengar apa yang aku katakan atau tidak memahaminya. Dan tak lama kemudian seorang perempuan ke luar dari rumah tadi, aku tertegun sejenak menatap wajah itu, wajahnya benar-benar mirip emak. Aku sangat yakin itulah saudara kembar yang diceritakan emak padaku.

Saat aku memperkenalkan bahwa aku anak emak, perempuan tadi tersenyum ramah, ia menjabat tanganku dan mempersilahkan masuk. Ia banyak bertanya tentang emak. Aku juga bercerita bahwa bapak sudah meninggal dunia. 

Di akhir percakapan kami aku bertanya apakah emak masih diterima jika ia datang berkunjung.

Jawaban yang kudapatkan membuat hatiku tenang. “Emakmu masih tetap bagian dari suku Dayak Kenyah. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya sama seperti darah kami. Agamanya mungkin boleh berubah tapi sukunya tetap sama seumur hidupnya,” lalu ia tersenyum kepadaku. “Bahkan kau juga keturunan Dayak Kenyah, bagian dari keluarga kami.”

Saat ingin pamit, lelaki tua yang tadi duduk di depan rumah memelukku erat setelah kembaran emak memberitahunya bahwa aku adalah anak emak. Aku tidak ,mengerti apa yang ia bisikkan kepadaku, tapi saat ia berbisik aku bisa merasakan bahwa kalimat yang diucapkannya begitu lirih, mungkin semacam rindu yang sudah lama dipendam dan akhirnya tercurah. Ia memberiku sebuah kalung manik. Saat ia melingkarkan kalung tadi di leherku, mataku jadi meradang, entah kenapa aku menjadi sedih.[]

Pencinta film yang suka menulis dan menggambar. Karya ilustrasinya bisa kalian temukan di instagram @loganuesjr
Posts created 28

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top