Buku Antologi Sesat: Lokalitas Tak Mesti Eksotik

Petikan gitar Ramadhan S Pernyata—saya biasa memanggilnya Bang Madhan, menghiasi malam itu. Kami (Saya, Loganue, Tria, Wahyu, Fasih) baru saja menghabiskan hidangan sate dan ikan bakar. Rumah Bang Madhan yang terletak di Mugirejo menjadi tempat perjamuan. Suasana yang tepat sekali untuk membicarakan Tuhan dan komunisme. Namun, saat itu kami justru ghibah.

Tentu saja tidak hanya ghibah, ada beberapa obrolan lain malam itu. Salah satunya adalah usulan dari Bang Madhan untuk mengerjakan sesuatu bersama lagi.

“Yang kemarin tidak boleh jadi yang terakhir,” ucapnya saat itu—atau begitulah saya mengingatnya. Kami memang ketika itu baru menyelesaikan sebuah zine. Kontennya dari Muara Kami, layout dan desain dilakukan oleh Samarinda Design Hub.

Singkat cerita, tercetuslah ide untuk membuat buku antologi cerpen bersama. Saya, Loganue, Tria, Wahyu, dan Fasih sepakat untuk berkontribusi. Di kemudian hari, Wahyu dan Fasih memutuskan untuk tidak jadi bergabung.


“Kita harus memasukkan unsur lokalitas disini,” sebut Bang Madhan beberapa minggu setelah itu. Kali ini, kami berkumpul kembali. Jika sebelumnya di rumah Bang Madhan, kali ini di Studio Jinantra yang kerap kali digunakan untuk pameran Samarinda Design Hub. Momen berkumpul itu untuk membahas kembali kelanjutan buku antologi kami. Tentu saja itu hanya kedok, sebenarnya kami tujuannya adalah bermain ping-pong. Kebetulan, saat itu Bang Madhan dan teman-teman Studio Jinantra baru saja membeli sebuah papan tenis meja.

Bang Madhan menambahkan, bahwa unsur lokalitas yang dimaksud tidak perlu tendensius. Sebuah latar belakang yang tampil sekilas pun tak jadi soal. Ia mencontohkan cerita pendek saya di buku itu yang bercerita mengenai kehilangan sandal di masjid.

“Misalnya, di ceritamu itu masjidnya Masjid Al Ma’ruf,” kelakarnya.

Kesannya memang seperti bermain-main, tapi saya rasa sebenarnya ini perspektif yang menarik. Saya teringat akan sebuah kata pengantar dalam buku Osamu Dazai yang berjudul No Longer Human. Donald Keene, penulis kata pengantar tersebut menuliskan bagaimana orang Barat sering kali melihat karya seni dari luar yang ‘asing’ bagi mereka (khususnya karya-karya orang Timur) sebagai sesuatu yang eksotis dan antik, atau dalam kata pengantarnya, ‘exquisite’.

Saya pribadi mempunyai keresahan yang serupa—sebagai orang Timur itu sendiri. Di Indonesia, misalnya, pemaknaan lokalitas kerap kali terlalu sempit. Lokalitas tak jauh-jauh dari batik, angklung dan gamelan. Dalam konteks Kaltim, lokalitas adalah sesuatu yang berbau Kutai atau Dayak. Bukan berarti cara-cara itu salah, akan tetapi saya percaya dibutuhkan cara pandang alternatif.


Itulah yang kemudian kami coba bawa dalam buku antologi karya cerita pendek yang akhirnya berjudul Sesat: Cul de Sac ini.

Sebagaimana yang dikatakan Loganue dalam acara peluncuran buku ini yang berlangsung pada Sabtu, 13 Mei yang lalu; kita menuliskan sesuatu yang ‘dekat’. Dalam kasusnya, titisan Dajjal bernama asli Alfian Noor itu menuliskan mengenai kampung halamannya di Kutai Barat. Mulai dari intrik-intrik perselingkuhan hingga gosip-gosip tetangga.

“Kalau orang kampung saya ada yang baca, habislah saya,” candanya. Meskipun ditulis dengan nama samaran, tokoh-tokoh di dalam bukunya ditulis berdasarkan karakter-karakter asli di dunia nyata–orang-orang di sekitarnya di kampung halamannya. Jika mereka membacanya, sebut Loganue, mereka pasti akan sadar kalau tokoh-tokoh tersebut adalah diri mereka.

Tria menampilkan lokalitas dalam buku ini melalui bentuk fabel. Ia mengaku, buku ini merupakan pengalaman menulis pertamanya. Namun, ia berhasil menghasilkan sebuah fabel yang sangat personal mengenai penyesalan (atau dendam?) yang pernah ia alami.

Sementara itu, Bang Madhan menyampaikan sesuatu yang sangat mengena di saya yang belum menikah mengenai karyanya. Ia mengatakan, bahwa buku ini adalah upayanya untuk mengenalkan dirinya ‘yang lain’ kepada anaknya ketika sudah besar nanti. Bahwa dirinya tidak sesempurna apa yang ia tampilkan di rumah. Ada sisi-sisi ‘kesesatan’ di dalam dirinya yang selama ini tidak terlihat.

Saya pribadi tak jauh berbeda. Dalam buku ini, meski sepintas, saya memuat salah satu warung nasi goreng favorit saya. Dahulu, ayah saya biasa mengajak kami sekeluarga kesana. Saya yakin, ada orang-orang yang menyimpan memori serupa terkait salah satu tempat kuliner legendaris di Samarinda tersebut.

Akhir kata, saya percaya bahwa yang lokal adalah yang personal. Yang lokal adalah yang benar-benar terasa dekat dalam keseharian kita. Bukan sesuatu yang terkesan indah, eksotis, antik, namun terasa jauh dari gapaian.

Buku yang kami berempat tulis mungkin bukan buku yang sesempurna itu. Bagus juga mungkin enggak, nyastra apalagi. Tetapi yang jelas, kami menulis dengan jujur. Melalui kejujuran itu, kami harap akan ada banyak orang yang merasa terhubung.


Buku antologi cerita pendek Sesat: Cul de Sac dapat dibeli melalui direct message (DM) Instagram @samarindadesignhub_ atau @muarakami_

Posts created 32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top