Rusdianto (kiri), Muhammad Sarip (tengah), dan Ardhito Pramono (kanan)

Benarkah Muhammad Sarip Sejarawan yang Banjar-sentris?

Muhammad Sarip merupakan seorang sejarawan Samarinda. Setidaknya begitu kata orang-orang. Latar belakang pendidikannya sebenarnya tidak berhubungan dengan sejarah. Ia merupakan lulusan jurusan Manajemen di salah satu perguruan tinggi di Kaltim. Kecintaan akan sejarah ia dapatkan di kemudian hari, hingga membawanya ke program Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2020.

Saya lumayan sering mendengar namanya sebelum bertemu. Mulai dari teman wartawan, aktivis, hingga di komunitas membicarakannya. Ada dua hal yang disematkan kepada dirinya; sejarawan ‘bersertifikat’ dan Banjar-sentris.

Saya tidak akan banyak membahas yang pertama. Isu bahwa Muhammad Sarip Banjar-Sentris adalah yang akan menjadi fokus tulisan saya.

Asumsi itu muncul setelah ia mengklaim bahwa Hari Ulang Tahun (HUT) Samarinda berpijak pada sejarah yang salah. Penetapan HUT Samarinda sendiri tertera pada Peraturan Daerah (Perda) Samarinda Nomor 1 Tahun 1998. Perda itu menyebutkan bahwa Samarinda didirikan seseorang bernama La Mohang Daeng Mangkona. Daeng Mangkona sendiri merupakan seorang pendatang Bugis Wajo yang kabur dari Kerajaan Gowa dan mendarat pada 21 Januari 1668.  Tanggal itulah, yang hingga kini dirayakan sebagai HUT Samarinda. Nama Daeng Mangkona pun dinobatkan sebagai pendiri Kota Samarinda.

Penolakan atas Daeng Mangkona membuat Muhammad Sarip dianggap sebagai anti-Bugis. Anggapan lain bertambah ketika ia menyebutkan suku Banjar mendiami Samarinda lebih dulu sebelum masyarakat Bugis Wajo hadir. Ia kemudian dicap sebagai seorang yang Banjar-sentris.  

Asumsi saya pertama kali mendengar ini, saya langsung teringat Zionisme Israel. Zionisme Israel beranggapan bahwa Yerusalem adalah tanah nabi dan leluhur mereka. Bahkan ada satu istilah populer, yaitu ‘tanah yang dijanjikan’. Atas dasar itulah, negara Israel didirikan. Padahal, pun bila klaim itu benar, wilayah itu telah menjadi wilayah yang didiami beragam suku, khususnya orang-orang Arab.

Singkatnya, saat itu saya tidak sekedar menganggap Muhammad Sarip seorang Banjar-Sentris. Lebih dari itu, saya bahkan menganggapnya serupa seorang Zionis.

Anjay.

Namun, anggapan tersebut timbul tanpa saya pernah bertemu dengan dirinya. Pada hari Sabtu, 18 Januari 2023 saya akhirnya berkesempatan bertemu langsung dengannya. Saya didampingi oleh Rusdianto, seorang wartawan yang kadang mengaku sebagai stand-up comedian.

Saya pun kemudian berusaha menanyakan kepadanya mengenai isu Banjar-sentris tersebut.

Ikam ada masalah kah, Wal, sama orang Bugis?

Enggak deng, tidak persis seperti itu. Namun saya menyampaikan bahwa saya ingin memastikannya. Saya katakan juga bahwa saya memiliki darah Bugis dari ibu saya.

Sarip kemudian meluruskan, bahwa ia tidak bermasalah dengan suku apapun. Ia hanya bermaksud untuk meluruskan sejarah.

Ia kemudian menunjukkan saya sebuah buku yang berjudul Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda terbitan Humas Pemkot Samarinda pada 2004. Disana, dituliskan sejarah Daeng Mangkona memiliki sumber ilmiah. Sumber itu adalah buku Kroniek der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo yang ditulis Johan Eisenberger, penulis asal Belanda yang meneliti sejarah di Kalimantan.

Buku itu lalu dibawakan ke hadapan saya. Tidak ada satu pun halaman yang memuat nama Daeng Mangkona. Padahal, ada nama-nama lain yang tertera.

Anjrit.

Sarip lalu menjelaskan, bahwa ada indikasi motif politik di balik sejarah Daeng Mangkona sebagai pendiri kota Samarinda. Baik saat penetapan Perda 1/1988 maupun pembuatan buku  Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda di tahun 2004 memuat motif politik yang berkaitan erat dengan latar belakang pemimpin kota saat itu.

Saya kemudian teringat akan hadits mengenai ‘akan datangnya panji hitam dari Khurasan pada akhir zaman’.  Dalam buku Perbendaharaan Lama, Hamka menyebut hadits itu pernah dipakai untuk motif politik. Lebih tepatnya, oleh Abu Muslim Al Khurasaniy, pemberontak di zaman Bani Umayyah. Hadits itu dipakai untuk melegitimasi diri dan pengikutnya sebagai ‘prajurit akhir zaman’.

Saya kemudian menanyakan, bagaimana dengan cerita turun temurun mengenai Daeng Mangkona? Tidak bisakah itu dijadikan sebagai sumber lisan untuk rujukan sejarah?

Pria yang selalu terlihat memakai masker ini (mungkin dia pikir dirinya Kakashi Hatake) menyatakan, bahwa ia tidak menafikan sumber lisan. Akan tetapi, sumber lisan perlu diverifikasi dengan sumber tertulis. Yang menjadi masalah adalah, cerita mengenai Daeng Mangkon sebagai pendiri kota Samarinda memiliki banyak kontradiksi.

Penelusuran mengenai keaslian sejarah Daeng Mangkona telah ia tuliskan dalam sebuah jurnal ilimiah. Jurnal itu berjudul Kontroversi Sejarah La Mohang Daeng Mangkona dan Hari Jadi Kota Samarinda: Sebuah Tinjauan Kritis. Mereka yang ingin memastikan lebih lanjut dapat membaca jurnal tersebut.

Sarip kemudian juga menambahkan, bahwa sentiment antar suku memang dipelihara dalam penjajahan Belanda. VOC dan Kerajaan Belanda membangun sekat antara Suku Banjar-Kutai, Bugis, dan Tionghoa. Suku asal Tionghoa ditempatkan di daerah Pelabuhan (yang disebut sebagai ‘Pecinan’), suku Bugis ditempatkan di Samarinda Seberang tempat pendatang Wajo mendarat dahulu, sementara suku Banjar-Kutai di daerah Pasar Pagi, terutama untuk kegiatan ekonomi mereka.

Menarik, batin saya. Saya sampaikan ke dirinya, hal itu serupa apa yang pernah saya baca di Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia sendiri adalah buku fiksi-sejarah dengan latar waktu pra-kemerdekaan. Di dalam buku tersebut, diceritakan bangun sekat antara suku Melayu, Tionghoa, dan Arab.

Sarip menyatakan, bahwa ia tidak banyak membaca buku Pram. Akan tetapi, menurut pemahamannya Belanda memang mendesain hal serupa di banyak daerah Hindia Belanda dahulu. Hal itu dilakukan untuk memelihara konflik dan mencegah pemberontakan. Ia juga menyatakan bahwa ia tertarik untuk mendalami dan menulis mengenai sejarah kaum Tionghoa di Samarinda.


Pertemuan dengan Sarip berlangsung menyenangkan. Saya, Rusdi, dan dirinya mengobrol tentang banyak hal. Rusdi membawakan tape untuk kita santap bersama, Sarip juga memesankan burger untuk makan siang kami. Saya masih bertemu dengan Sarip beberapa kali setelah itu. Sekali saat ia mengadakan acara diskusi di Perpustakaan Kota Samarinda. Selanjutnya, ketika saya melakukan barter buku dengannya sore tadi.

Satu hal yang saya pelajari; pada akhirnya, tabayyun dan kroscek memang penting. Tanpa berusaha menyudutkan siapa pun dalam tulisan ini, proses verifikasi dan validasi memang krusial. Saya juga tidak berusaha melebih-lebihkan Sarip disini. Pandangan kami mengenai pendirian Ibu Kota Nusantara berbeda, dan saya sampaikan itu secara langsung.

Mungkin, seperti yang dikatakan Pram dalam Bumi Manusia; seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran.

Sarip memakai kaos bergambar Pram dan kutipannya saat kunjungan kedua saya. Katanya, itu merupakan hadiah yang ia peroleh atas sebuah tulisan.
Posts created 32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top