Refleksi MANTRA Edisi 15: Anak Wiji Thukul ‘Menjual’ Ayahnya?

Suatu ketika seorang teman menceritakan proses penelitiannya mengenai jejak rekam sosok Wiji Thukul dan karyanya kepada penulis uraian ini. Ada satu hal yang janggal baginya ketika mewawancarai salah satu anak Wiji Thukul. Anak ini dikenal kerap melakukan musikalisasi terhadap karya-karya puisi ayahnya.

Berangkat dari kejanggalan tersebut, ia berasumsi bahwa anak Wiji Thukul tersebut menjual ayahnya sendiri. Mengingat ketika mengundang anak ini tidak lagi bisa menggunakan cara-cara kolektif seperti tampil tanpa bayaran material (dengan sejumlah uang yang telah ditentukan).

Setelah pertemuan itu, tepatnya setahun yang lalu, penulis mendapat kesempatan lain berjumpa salah satu musisi yang cukup populer (tidak lagi disebutkan namanya). Musisi ini cukup konsen menyuarakan kondisi sosial dan lingkungan di sudut Yogyakarta dengan karya musiknya. Dalam perjumpaan kami, sedikit kami membahas anak Wiji Thukul tersebut (selanjutnya kita sebut Wiji Thukul Jr.) sebab beliau memiliki kedekatan emosional yang baik.

Musisi tersebut membantah anggapan Wiji Thukul Jr. telah menjual ayahnya sendiri. Alasannya cukup jelas, bahwasannya kondisi bertahan hidup tanpa Bapak sejak usia masih terlalu dini adalah hal yang tidak mudah. Belenggu hidup ‘serba bayar’ (akibat sistem kapitalisme) adalah keseharian yang kita hadapi.

Ia bahkan menambahkan sebuah kejadian pilu. Suatu ketika Wiji Thukul Jr. pernah mengalami depresi berat dan berjalan tanpa busana di sekitar jalan raya besar samping kampus paling populer di Yogyakarta.

Mendengar kisah ini, penulis membayangkan bagaimana menjadi posisi seorang anak Wiji Thukul yang hidup dalam bayang-bayang trauma dan dugaan tidak benar. Apalagi ketika keinginan mengenang sosok bapak tanpa tahu dimana makamnya (jika Wiji Thukul benar telah tiada). Membayangkan bagaimana cucunya nanti bertanya tentang kakeknya juga. Sungguh beban berlipat ganda yang bukan serta-merta salahnya tetapi akibat kegagalan negara menjawab nasib Wiji Thukul kini.

Refleksi MANTRA ke-15: Kelugasan Puisi dan Pengorganisiran Buruh

Kamis (16/02/23) Malam Apresiasi Seni dan Sastra (MANTRA) berkolaborasi dengan Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM) Kaltim melakukan refleksi kehidupan Wiji Thukul bersama Kelik Ismunandar, aktivis ’98 yang menjadi salah satu saksi hidupnya. Refleksi dilakukan di kota Samarinda, tepatnya di Jalan Basuki Rahmat. Pada dasarnya, keberadaan refleksi ini memang krusial. Semangat seorang penyair Wiji Thukul ingin ada perubahan kondisi sosial negara ini yang berkeadilan. Sehingga kita yang sedang mengalami fase usia muda, dimana sedang prima-primanya imunitas fisik yang kita miliki cukup penting untuk memperpanjang nafas perjuangan dengan semangat yang serupa.Penulis sendiri menonton proses refleksi itu lewat Live Instagram.

Yopin Pratama, Juru Bicara KBAM.

Kelik memberi kesaksian hidup yang dialami bersama penyair Wiji Thukul. Ia mengaku terpana terhadap kharisma Wiji Thukul saat membaca puisinya. Wiji ia nilai mampu menyampaikan gagasan dan pemikirannya lewat bahasa puisi yang jelas dan bermuatan isi yang penting. Bukan sekedar akrobatik kata-kata dimana diksi dalam bait puisi yang berujung susah ditafsirkan orang lain.

“Bagi Thukul, seni adalah penyadaran. Seni harus berpihak pada rakyat. Thukul menentang keras bahasa puisi yang tidak dipahami rakyat,” tegas Kelik menyampaikan kesaksian atas nilai kesenian yang dipegang teguh oleh Wiji Thukul.

Puisi sungguh bisa menjadi media kita masing-masing untuk berekspresi. Termasuk mengekspresikan keresahan kita atas kondisi negara yang tidak pernah baik adanya. Sebab sadar kondisi saat inimasih sangat jauh dari sila kelima Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memang sudah saatnya generasi penerus berjuang mencapai manifestasi ideologis negara tersebut.

Kelik menambahkan bahwa menjadi sorotan kita bersama untuk terus melatih diri untuk lebih peka ketika menggunakan media seni sebagai penyalur keresahan kita masing-masing. Termasuk kondisi buruh di seputaran Pulau Jawa yang pernah diorganisir buruh sebagai bentuk tindakan lebih dari perjuangan rakyat yang terpinggirkan.


“Bagaimana Wiji Thukul mengorganisir buruh?” Salah satu dari peserta yang hadir dalam refleksi tersebut bertanya.

Kelik menanggapi bahwa pada dasarnya Wiji Thukul semasa hidupnya tidak mengorganisir sendirian atau berdiri sendiri. Tetapi ada pendukung lain dari kawan-kawannya sebagai perpanjang semangat perjuangan. Hal ini betapa pentingnya ketika kita memperjuangkan sesuatu hal yang kita telah sepakati manifestasi capaiannya, maka betapa pentingnya bersinergi pada siapa saja yang bersedia terlibat.

Konsistensi seorang Penyair Wiji Thukul tak perlu diragukan, sebab ia menggunakan kesempatan dalam hidupnya sejak muda hingga resiko yang menimpanya yaitu diculik negara. Hal ini menjadi refleksi bersama, apakah dalam berjuang kita masing-masing siap menuai resiko yang menyisakan kesedihan berkepajangan seperti dampaknya pada anak-anaknya sendiri (pada paragraf pertama tulisan ini). Mengingat setiap masa berbeda permasalahan yang dihadapi akan membuat kita berpikir bagaimana cara mencari solusi dalam mengatasinya. Termasuk menggali ide apa saja yang bisa diterapkan sesuai dengan konteks zamannya.

Ada satu hal yang cukup berbeda misalnya di era digitalisasi saat ini adalah sisi mencolok yang berbeda dengan era analog akhir (Tahun 1990an). Akhirnya menyisakan setiap siasat politik misalnya, akan sangat mudah terlihat. Jika tidak dilandaskan dengan kehati-hatian, maka bayang-bayang penjara seolah di depan mata. Sedangkan, tidak ada manusia yang tidak mendamba posisi aman sepanjang hidupnya. Tidak setiap manusia mau melampaui batas kemampuannya dalam berjuang. Inilah tantangannya, penggalian ide hingga penerapan perjuangan ini menjadi landasan tidak hanya berhenti belajar baik di ruang-ruang diskusi tetapi butuhnya tindakan yang cukup substansial dalam berjuang.

Kelik mengaku ketika mengalami terjun langsung ke lahan konflik, bukanlah sesuatu hal yang mudah. Persoalan ini merujuk bagaimana bertahan hidup di lahan konflik yang penuh resiko. Ia juga mengingatkan, kondisi sulit ini ada kesamaan setiap masa yang hampir mirip perihal resiko secara langsung di lahan konflik. Akan tetapi, ketika kita mengetahui ini bukan berarti sebagai alat untuk pematah semangat untuk para kaum muda yang sedang bersemangat menghimpun jiwanya melawan sistem yang tidak baik-baik saja. Namun, sebagai kesiapan mental dalam mengahadapi apapun resikonya.

Meski, barangkali hal-hal tak terduga bisa terjadi seperti penculikan oleh pihak penguasa hingga dugaan terburuknya adalah tertimpa nasib kematian itu sendiri. Tetapi percayalah, masa hidup yang digunakan setulus-tulusnya berjuang, tak akan sia-sia bagi mereka para pemerhati perjuangannya yang merekam semangat perjuangan ketulusan itu sendiri di masa yang akan datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top