Aku Sebiru Laut & Kalian Perlahan Terbenam

Walau rambut panjangku yang lurus ini menutupi kedua telingaku, aku masih bisa mendengar suara langkah kaki anak-anak berlarian melintas di belakangku, suara mereka cukup riuh, tapi aku tidak mau tahu apa yang sedang mereka kejar dan riuhkan. Aku hanya melihat ke langit cerah dan tinggi gedung menjulang ke atas, dan saat itulah aku merasakan perih di dadaku, perih yang aku sangkal sebagai rasa sakit hati sekaligus rindu.

Sudah seminggu perasaan seperti ini aku pelihara, semakin hari perasaan ini semakin bertambah parah saja. Rasanya ingin ku belah dadaku lalu kubuang, namun jelas itu tidak mungkin. Lagi-lagi aku hanya menghela nafas sembari membuka kaleng minuman bersoda yang tadi aku beli dari mesin minuman di toko kecil dekat jembatan. Kering dahagaku tertawari, tapi perih itu tidak hilang, dan aku tidak berharap itu hilang hanya karena minuman bersoda, harapan seperti itu terlalu naif.

“Gincu murahan!” Pekikku saat melihat noda merah bekas bibirku menempel pada bagian atas kaleng minuman.

Aku menyandarkan tubuh ke pagar jalan, tunduk sejenak melihat arus sungai yang cukup deras lalu meluruskan pandangan ke depan, ke jalan yang ada di seberang. Kesibukan kota terlihat dari lalu-lalang kendaraan dan itu terlihat membosankan.

“Aku akan terjebak di tempat ini,” ucapanku hanya berupa bisikan.

Hingga kaleng minumanku kosong, barulah aku beranjak dari tempat itu, membuang kaleng kosong tadi ke dalam bak sampah, lalu melanjutkan kembali perjalanan pulangku. Jangan bayangkan matahari perlahan tenggelam menuntun langkahku, karena itu terlalu sedih untuk dibayangkan, apalagi oleh hati yang sedang merapuh seperti ini.

Selama ini aku selalu menghindari Ayahku, berusaha sebisaku untuk tidak bicara dengannya, atau juga berjumpa dalam sebuah kesempatan. Aku membencinya namun ia Ayahku, tak ada cara yang bisa dilakukan dengan fakta itu. Dalam hidup ini kita bisa memilih beberapa hal sekaligus tidak bisa memilih hal-hal yang ingin kita pilih.

Ayah sangat keras kepala dan aku tidak heran jika memiliki sifat sepertinya. Tapi apalah artinya mengingat semua kekerasan yang ia lakukan padaku, apalagi saat ini ia sudah tak ada lagi di dunia. Bukankah lebih baik mengingat hal-hal baik saja untuk orang-orang yang sudah tiada. Hatiku terus bertentangan akan hal itu, mungkin karena aku terlalu benci padanya. Apa benar aku sebenci itu?

Sesampai di kamar indekos aku langsung berbaring tanpa menyalakan lampu, gorden jendela kamar juga kubiarkan menutup. Sejak kali pertama menempati kamar indekos ini beberapa hari yang lalu, aku sama sekali tidak mencoba berkenalan dengan anak-anak di sini, aku tidak ingin menjalin pertemanan, aku hanya ingin sendiri. Baru saja mataku ingin terlelap dering telepon genggamku mengusik ngantuk. Panggilan aku abaikan, nada deringnya aku redamkan. Ibu terus menghubungiku, dan jelas dia mengkhawatirkanku. Tapi aku tidak ingin bicara dengannya, aku takut hal itu malah membuat ku semakin sakit hati saja. Maka hanya kedip layar telepon genggamku yang membinar di penjuru kamar.

Aku membenci hidup seperti ini, tapi aku terus menjalaninya. Bodohnya aku.

Tak sampai seminggu uang tabunganku sudah semakin menipis, aku mulai menyesali keputusanku berhenti dari tempat kerja tempo hari. Dan kini aku harus mempersulit diriku mencari pekerjaan baru yang super sulit ditemukan. Dalam keadaan seperti ini aku tidak lagi memikirkan pekerjaan terbaik, yang penting bisa membuat aku tetap hidup itu sudah cukup.

Malam yang suntuk coba aku lewati dengan bertemankan biskuit coklat dan segelas air putih, sambil membuka kontak di telepon genggam mencari-cari teman-teman yang mungkin bisa aku hubungi untuk di ajak jalan. Tapi sekali lagi aku terhenti begitu saja, aku mengulurkan niatku untuk menghubungi mereka, aku takut mereka tolak sebab akhir-akhir ini aku selalu menolak ajakan mereka. Hubungan timbal-balik (pertemanan) aku dengan orang-orang itu sudah hancur. Demikian menurutku.

Aku tahu pasti, ada berapa jumlah uang di dalam dompetku, jika aku jalan malam ini maka makanku besok harus aku kurangi paling tidak sekali. Namun persetan dengan itu semua, aku butuh jalan, menyegarkan kepala, paling tidak mabuk sambil mengutuk malam. Maka aku pun jalan malam itu sendirian. Mengenakan pakaian santai yang tidak terlalu mencolok, karena aku tidak ingin terlihat demikian. Aku ingin pergi ke tempat baru, tempat orang-orang tidak mengenalku atau pernah melihatku. Aku tidak ingin berjumpa dengan seseorang yang aku kenal.

Berkali-kali aku lihat ke arah argo taksi untuk memastikan biayanya tidak melebihi target yang sudah aku inginkan, aku menghentikan taksi dan turun di tengah jalan sepi yang membuat pak sopir taksi terheran-heran. Namun aku tidak ambil pusing jika pak sopir berpikir yang tidak-tidak tentangku, sebab belum tentu aku berjumpa dengan sopir taksi yang sama nantinya.

Setelah cukup jauh aku berjalan, kujumpai lah sebuah bar kecil pinggir jalan yang gemerlap dengan lampu warna biru berkedip. Pasti itu bar murahan, tapi apa pedulinya dengan itu, yang penting bisa minum dan menghabiskan malam. Aku masuk ke sana, cukup kaget ketika mendapati itu ternyata bar para homoseksual.

Atau lebih baik seperti ini. Pikirku sambil memantapkan langkah masuk dan duduk di depan konter. Jelas aku seperti singa di antara kawanan zebra, mungkin aku mereka anggap mengancam, atau cari masalah. Dan ketika aku duduk, lalu membuang pandanganku ke sekitar, mereka semua melarikan pandangan mereka. Aku pun memesan segelas bir dengan santai.

Di pojok ruangan belakang meja billiard terdengar tawa beberapa orang sedang bercanda, entah apa yang mereka bicarakan aku tidak peduli, namun semakin lama tawa itu semakin mengusikku, maka aku bangkit dari tempat dudukku, menuju ke arah mereka. Saat aku berdiri di depan sofa tempat mereka duduk, tawa itu terhenti, mereka memandang ku heran.

“Boleh aku bergabung?” Tanyaku dengan santai.

Empat orang laki-laki itu tersenyum dan bergeser memberi aku ruang di tengah antara mereka. Mereka memanggilku dengan panggilan ‘sayang’ dan aku tidak protes akan hal itu. Aku berkenalan dengan mereka sebagai Camelia dan mereka menyebutkan nama panggilan mereka. Tak satupun dari nama mereka yang bisa aku ingat setelah waktu berlalu kurang lebih tiga menit.

“Bagaimana ceritanya hingga kau tersesat di sarang beruang, Camelia?” tanya salah satu dari mereka.

Aku tersenyum sambil menyesap bir yang berbusa di gelasku.

“Iya, sayang. Jarang sekali ada Camelia tersesat sampai ke sini,” ucap lelaki lainnya.

“Jangan tertipu, siapa tahu ia ini laki-laki,” lelaki lainnya lagi berucap sambil tertawa.

“Kurasa ia perempuan,” lelaki yang duduk paling ujung itu membuat rekan-rekannya menoleh tajam ke arahnya.

“Kalian bisa memegang payudaraku jika memang ragu,” ucapku coba masuk ke dalam percakapan mereka.

Dan itu cukup membuat tawa mereka pecah.

Aku tidak ingat berapa gelas aku minum bir, dan siapa yang membayar itu semua. Tak ada hal yang bisa diingat oleh orang mabuk pada nyatanya. Saat aku terbangun aku terkejut ketika mendapati diriku tidak berbusana di atas tempat tidur dan kamar seseorang. Saat membuka mata, yang aku lihat adalah kamar rapi dengan cat kamar berwarna biru, kukira saat itu aku sedang bermimpi memandang laut, tapi saat suara seorang perempuan menyapaku barulah aku sadar, aku benar-benar di tempat asing dengan orang asing.

Perempuan itu berambut pirang terikat di belakang, kulitnya putih, matanya sipit. Cina. Pikirku saat melihatnya.

“Aku di mana?” Pertanyaan itu meluncur dengan cepat dari mulutku.

“Kau di rumah kami. Perkenalkan aku Yuli. Philip yang membawamu kesini tadi malam, kau sangat mabuk.”

“Aku telanjang,” ucapku pelan bicara pada diriku sendiri sembari mencari-cari pakaianku.

“Kau melepasnya sendiri,” Yuli menyodorkan pakaianku yang sudah terlipat rapi. “Kalau sudah berpakaian, langsung ke dapur saja. Philip sedang membuatkan sarapan untuk kita.”

Aku masih dilanda kebingungan. Kepalaku masih agak pusing ditambah lagi aku tak tahu saat ini berada di mana. Siapa Philip, siapa Yuli. Aku tidak mengenal mereka. Saat aku mendapati mereka di dapur, mereka sedang duduk di depan meja makan, aku ingat lelaki itu, itu salah satu lelaki yang aku jumpai di bar tadi malam.

Mereka berdua tersenyum.

“Philip sangat pandai membuat sarapan,” puji Yuli sambil tersenyum ke arah lelaki tadi.

Aku duduk di bangku tengah, kemudian Philip dengan cekatan mengambilkan sepotong roti panggang serta menuangkan segelas susu untukku. “Maaf sarapan kami terlalu sederhana.”

Aku tersenyum tak tahu harus bertingkah seperti apa.

“Camelia, aku akan mengantarmu pulang, jika kau berkenan,” Yuli memegang tanganku saat ia mengucapkan itu.

Sulit bagiku untuk menolak, lagi pula jika harus naik taksi aku akan menipiskan uangku di dompet, parahnya lagi aku tak tahu sejauh apa aku dari rumah. “Iya, terima kasih. Maaf sudah merepotkan.”

Philip selesai sarapan lebih dulu, kemudian bangkit sambil merapikan kembali kemeja putihnya. Ia pamit pada kami, mencium kening Yuli lalu pergi meninggalkan kami. Aku agak risih melihat ia mencium kening Yuli padahal tadi malam ia bersama seorang lelaki terlihat lebih mesra daripada itu.

Aku tidak memahami apa yang sedang berlangsung di hadapanku, sampai ketika Yuli mengantarku pulang. Awalnya Yuli hanya menanyakan alamat tempat tinggalku lalu kami membisu di dalam mobil.

Lalu tiba-tiba Yuli mengucapkan sesuatu. “Aku cukup kaget dia pulang bersamamu tadi malam.”

Aku bingung harus menjawab apa, maka aku hanya diam saja.

“Katanya dia berjumpa denganmu di bar, kau mabuk berat saat datang dan juga menangis sambil menyumpah memanggil ‘Ayah’. Sulit membedakan kedua itu ketika seseorang yang mabuk bicara.” Senyum Yuli membuat perasaanku sedikit lebih baik. “Kau mungkin bingung siapa aku,” ia menoleh sejenak seakan memastikan ekspresi di wajahku penuh dengan tanda tanya. “Kami berdua sudah dua tahun lebih menikah. Jelas bukan pernikahan yang mudah.”

Aku kaget dengan pengakuan itu, tapi aku masih saja diam.

“Perjodohan, namun aku benar-benar mencintainya,” ada jeda di ucapan itu. “Keadaan kadang memang tidak menentu, malah bisa menjadi lebih buruk. Tapi pagi ini,” Yuli menjeda lagi ucapannya. “Pagi ini semuanya terlihat lebih baik daripada biasanya. Mungkin karena ada kamu.”

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Yuli dengan pagi yang lebih baik.

“Sebelum pagi ini, pagi-pagi kami selalu dihiasi dengan pertengkaran. Sulit memang mencintai seseorang yang tidak mencintai kita, ditambah lagi orang itu tidak bernafsu pada kita.” Mata Yuli berkaca-kaca. “Maafkan aku sudah membuat kau mendengar kisah semacam ini,” ucapnya sambil menarik tisu yang ada di atas dasbor mobil.

“Maafkan aku,” aku tidak punya kata yang tepat oleh sebab itu aku meminta maaf.

Yuli memaksa senyumnya. “Kau tak perlu meminta maaf. Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu sekaligus berterima kasih. Dan sebagai ucapan terima kasihku, maukah kamu ikut makan siang bersama kami hari ini?”

Aku tahu ini kesempatan yang baik untuk berhemat, tapi masuk ke dalam kehidupan orang asing bukanlah hal yang baik, ditambah lagi mereka punya masalah yang pelik. Tapi ini hanya sekali, tak ada salahnya. Hatiku mencoba meyakinkanku. “Apakah tidak merepotkan?” Aku tahu pertanyaan macam ini tidak akan bisa membuat Yuli menarik ajakannya.

“Pasti akan seru jika ada kamu. Nanti siang aku akan meneleponmu.” Yuli mengambil telepon genggamnya, menyerahkannya padaku. “Simpan nomor teleponmu, agar aku bisa menghubungimu.” Ia tersenyum.

~

Hingga tengah hari, aku hanya menunggu Yuli menghubungiku tentang ajakan makan siang itu. Sungguh pengangguran yang menyedihkan, pengangguran yang menunggu belas kasihan seseorang untuk mendapatkan makan siang gratis. Hina sekali diriku ini rasanya. Saat Yuli menghubungiku, aku malah ragu untuk menerimanya, namun sekali lagi hatiku memastikan bahwa untuk kali ini saja. Dan makan siang itu benar-benar terjadi.

Awalnya kukira Yuli yang akan menjemputku, namun ternyata yang menjemputku adalah Philip, walau sedikit agak lama karena ia berkali-kali meneleponku menanyakan alamat yang tepat akhirnya mobilnya bisa sampai di depan pagar indekos.

“Kukira Yuli yang akan menjemputku,” ucapku.

Philip tersenyum. “Dia memasak dan kebetulan aku dari kantor juga. Sudah lama ia tidak memasak.”

Jelas aku tidak bisa menanggapi atau bertanya mengapa Yuli sudah lama tidak memasak, mengingat cerita Yuli pagi tadi tentang hubungan mereka.

“Bagaimana dengan hidupmu?” tiba-tiba saja aku diserang dengan pertanyaan itu.

Aku sedikit panik, tak tahu harus menjawabnya seperti apa. Apakah aku mengarang cerita, atau mengatakan yang sejujurnya. “Semuanya berjalan normal,” sungguh itu bukan jawaban yang tepat, namun terlanjur keluar dari mulutku.

“Pasti akan lebih baik jika terus berjalan normal ya,” bisa kulihat senyum canggung di wajah Philip. “Aku tahu Yuli pasti sudah bercerita padamu tentang masalah kami, dan aku minta maaf untuk itu.”

“Iya, tak apa-apa.”

“Aku selalu mencoba menghargai dirinya, memutuskan hidup bersamanya karena orang tuanya banyak membantu keluargaku. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri hasrat dalam diriku. Ini mungkin akan jadi hal yang sulit kau pahami.”

Mengapa aku harus memahami kehidupan rumah tangga orang lain. Tak mungkin aku berkata seperti itu kecuali dalam hati. Anggap saja angin lewat demi sebuah makan siang.

“Proses yang kami jalani ini merupakan proses menyakiti diri kami sendiri, proses yang akan mengantarkan kami ke kata menyerah.”

Tak bisa dianggap angin lalu memang. Mendengar cerita seperti ini, aku jadi geregetan ingin bertanya “Lalu jika tahu seperti itu, mengapa terus mempertahankannya?” Akhirnya aku benar-benar bertanya.

“Apa pun yang terjadi aku tidak mungkin bisa meninggalkannya. Dia itu rela bunuh diri daripada aku tinggalkan. Kecuali dia yang menginginkan kami berpisah.” Jeda sejenak. “Aku menunggu ia memiliki keinginan itu.”

“Sepertinya itu akan sulit,” ucapku menanggapi.

“Iya. Sebenarnya dia pernah berucap, jika aku bisa menemukan perempuan lain yang aku cintai, dia akan melepaskanku. Tapi kau tahu sendiri itu adalah hal mustahil lain yang sengaja dijadikannya syarat untukku.”

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam, sembari memikirkan masalah orang lain.

“Camelia, ada satu hal lagi yang ingin aku beritahukan kepadamu.” Philip menepikan mobil kemudian memiringkan posisi duduknya agar bisa menghadap ke arahku. “Sejak tadi malam ketika aku membawamu pulang, Yuli terus bertanya tentang dirimu sepanjang malam itu. Aku menceritakan bagaimana kita bertemu di bar dan kebanyakan aku memang tidak tahu menahu tentang kamu,” helaan nafas terdengar walau hanya pelan. “Entah bagaimana pemikiran Yuli, ia merasa keberadaanmu bisa membuat rumah tangga kami menjadi lebih baik. Oleh sebab itu ia mengajakmu makan siang dan ia sendiri yang memasak.”

“Bagaimana mungkin aku bisa membuat rumah tangga kalian jadi lebih baik,” aku mulai menyesal menyetujui tentang makan siang ini.

“Aku juga tidak tahu,” Philip menyalakan kembali mobil dan melanjutkan perjalanan. “Maaf jika hal ini jadi sangat merepotkanmu.”

Ketika sampai di rumah, Yuli masih memasak di dapur, kecupan hangat dari Philip di kening Yuli terlihat seakan mereka tidak punya masalah yang pelik.

“Sebentar lagi sup nya masak,” ucap Yuli padaku yang bersandar di meja makan. “Aku tidak tahu makanan kesukaanmu dan aku juga tidak tahu apakah sup cocok untuk menu makan siang.”

“Aku suka sup,” jawabku cepat sambil mendekat ke arahnya dan menghirup aroma sup yang memang mengundang selera.

Saat makan siang berlangsung tak pernah sekalipun mereka membahas tentang masalah mereka. Philip tidak banyak bicara sedangkan Yuli terus saja bertanya tentang hidupku, aku dibuat kewalahan menjawabnya, kebanyakan jawabanku isinya kebohongan dan itu sangat membuat aku tidak nyaman. Walau hanya berlangsung kurang lebih satu jam, aku merasa makan siang itu adalah makan siang terlama yang pernah aku rasakan dalam hidupku.

Kukira itu adalah makan siang terakhirku bersama pasangan itu, ternyata makan siang itu hanyalah awal dari serentetan makan siang lainnya, atau juga makan malam. Aku tidak bisa menolak tetapi dari lubuk hatiku aku merasa sangat tertekan dengan ini semua.

Kini hidupku jadi lebih menyedihkan daripada sebelumnya, setiap hari aku bisa melihat kemesraan di depan mataku, terkadang aku juga merasa iri hati dengan itu semua, apakah ini sebanding dengan sebuah makan siang atau makan malam yang aku dapat? Kurasa aku harus menghentikan ini semua.

Dan tiba-tiba di suatu malam setelah selesai makan malam, Yuli menyampaikan sebuah ide gila. Andai saja hujan tidak turun lebat kala itu dan aku tidak minum bir terlalu banyak, mungkin aku akan menolak ide gila itu. Yulia mengajak tidur bersama. Bertiga. Bercinta.

Secara akal sehat jelas ini bukanlah hal yang wajar, dan aku tidak ingin hidup di dalam ketidakwajaran ini, tapi jiwaku kadang terdorong untuk mencoba hingga akhirnya terjebak seperti ini. Jika sudah terjebak sulit untuk keluar.

Di indekos saat aku memasukkan beberapa pakaianku ke dalam ransel, aku berpikir sangat panjang tentang ajakan Yuli untuk pindah ke rumah mereka. Ini memang kesempatan yang bagus untukku berhemat, paling tidak aku tidak akan membayar kamar untuk tinggal, dan dengan ini mungkin aku akan lebih mudah mencari pekerjaan karena waktu yang kupunya tidak pernah aku targetkan. Tapi sampai kapan aku akan seperti ini. Ah, mungkin sebulan waktu yang aku punya. Pikirku saat itu, dan sebulan itu aku harus bisa mendapatkan pekerjaan lalu pergi dari kehidupan Yuli dan Philip.

Ini adalah rencana awalku, tidak pernah terpikir olehku bahwa segala sesuatu akan menjadi kacau, aku tidak pernah memikirkan tentang keadaan kami, apakah akan terus baik seperti itu, ataukah akan berubah seiring berjalannya waktu.

Setiap hari berjumpa dengan orang yang sama, makan bersama, ngobrol bersama, jalan bersama, sampai tidur dan bercinta bersama. Ini membuat aku tertekan pada suatu titik yang kasat mata.

“Philip tidak pernah lagi menghubungi teman-teman lelakinya,” bisik Yuli saat kami berdua duduk di teras memperhatikan Philip sedang mendorong mesin pemotong rumput di pagi minggu.

“Mengapa kamu bisa seyakin itu?”

“Aku selalu memeriksa telepon genggamnya, bahkan kontak mereka pun sudah dihapus olehnya. Aku memang belum menanyakannya langsung.”

“Sebaiknya tak usah kita tanyakan,” ucapku sambil minum jus apel.

“Jadi bagaimana, apakah kamu sudah menemukan pekerjaan yang cocok?” Tanya Yuli tiba-tiba.

“Hemmm,” aku menimbang-nimbang. “Entahlah, sepertinya aku tidak mencarinya dengan sungguh-sungguh.

“Kau bisa memotret?”

Aku menggeleng.

“Baiklah, apa yang bisa kau lakukan. Maksudku pasti kamu punya hobi kan?”

“Hobi. Dulu sewaktu sma aku suka menulis, kadang membuat puisi, kadang juga cerpen. Tapi itu hanya untuk kebutuhan mading saja sih.”

“Okey, nanti kau akan aku perkenalkan pada salah satu temanku. Dia suka nulis dan sudah menerbitkan beberapa buku juga.”

“Oh, boleh juga,” sebenarnya aku tidak terlalu antusias, hanya saja aku tidak enak jika tidak menanggapi atau mengiyakan, sebab Yuli sudah terlalu banyak membantu.

“Besok, setelah makan siang ya.”

“Secepat itu?”

Yuli tersenyum nakal. “Lebih cepat kan lebih baik,” aku tidak tahu apakah itu sebuah pertanda bahwa Yuli ingin aku keluar dari rumahnya. Atau ia mulai merasa terbebani oleh keberadaanku. Namun aku tidak bertanya, aku hanya menganggukkan kepala, tanda setuju.

~

Seperti yang dijanjikan oleh Yuli, beberapa hari kemudian ia mengatur kencan ganda di sebuah restoran. Ia memperkenalkanku dengan Benny, seorang penulis novel yang sedang naik daun. Yuli memperkenalkanku sebagai keponakan Philip.

Benny orangnya ramah, bicaranya juga nyambung denganku, kebanyakan hal yang dibicarakannya adalah tentang novel-novel lama semacam Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Katak Hendak Jadi Lembu. Kebetulan novel-novel itu juga pernah aku baca, sebab dulu semasa smp, novel-novel itu tersedia di perpustakaan sekolah.

Ketika perbincangan kami sedang asik-asiknya, Yuli dan Philip pamit pergi lebih dulu sebelum hidangan penutup datang. Alasannya, Philip ada pekerjaan yang harus diselesaikannya, walau sebenarnya aku pun tahu itu hanya akal-akalan mereka agar aku bisa berduaan dengan Benny.

Benny orangnya memang asik, tapi aku merasa tidak enak ditinggal berdua dengannya. Namun aku tidak punya pilihan lain. Yuli pasti akan marah jika aku tiba-tiba ingin ikut mereka pulang, dan jelas itu tidak sopan pada Benny. Pun apabila aku izin pulang tak lama setelah Yuli dan Philip pulang, aku tidak punya cukup uang untuk membayar taksi, dan aku juga bisa menebak pasti Benny akan menawarkan diri untuk mengantarku. Jadi aku pasrah saja, lagi pula sepertinya makanan penutup di restoran ini cukup enak, hal itu tersirat dari nama menunya.

Setelah makan malam usai, saat aku dan Benny berduaan di dalam mobilnya, ia bertanya apakah aku ingin pergi kesuatu tempat. Jelas pertanyaan macam itu memiliki harapan agar aku menyebutkan sebuah tempat yang bisa dituju, mungkin semacam tempat hiburan. Tapi aku terlalu capek malam itu, maka aku meminta langsung diantar pulang saja.

Benny berhenti tepat di depan pagar rumah Yuli dan Philip, saat aku turun, ia juga turun, ia dengan cepat mendorongkan pagar untukku. Lalu sejenak kami berdiri berhadap-hadapan dalam jarak yang cukup dekat, malam membawa sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan, aroma parfum Benny juga membuat suasana tambah nyaman bagiku. Lalu ia mengucapkan terima kasih dan bertanya apakah nanti ia bisa mengajakku jalan. Maka kami pun bertukar nomor telepon genggam.

Saat aku ingin melangkah masuk melewati pagar Benny memanggilku. Aku terhenti, sebelum berpaling, bisa kulihat bayangan Yuli dan Philip berdiri di depan jendela samping pintu utama, mereka mengintip. Dengan enggan aku berpaling dan kudapati Benny sudah berdiri sangat dekat. Ia mencium bibirku dengan ahli seakan ia pencium profesional. Aku tidak mundur apalagi membuat pergerakan penolakan. Aku hanya diam merasakan bibirnya mengecup bibirku serta deru nafasnya bercampur dengan aroma parfum di lehernya.

Ciuman itu tidak lama, dan setelah berakhir kami terlihat sangat canggung. Aku melambaikan tangan saat ia kembali masuk ke dalam mobil, lalu berpaling dan melangkah menuju pintu rumah. Belum sempat ku ketuk pintu rumah, Yuli dan Philip menghambur keluar, mereka tersenyum seakan mengejekku. Tapi aku cuek saja, aku hanya tersenyum sekilas lalu masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Dan malam itu ketika kami duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Yuli tidak henti-hentinya bercerita tentang Benny. Sebenarnya aku malas menanggapi, tapi setiap ucapannya memaksa aku untuk mengeluarkan argumen. Ketika aku dan Yuli berbalas argumen tentang Benny, Philip mengambil bir dari kulkas. Menuangkannya untukku dan Yuli. Kami pun minum hingga larut malam dan berakhir di atas tempat tidur tanpa busana, bertiga seperti malam-malam pada biasanya.

Itulah awal dari perjumpaanku dengan Benny, setelah malam itu, Benny tiap minggu mengajak aku jalan, kami semakin kenal dan sesekali ia mengajariku cara menulis fiksi, aku menikmati itu dan mulai melupakan tujuan utamaku untuk mencari kerja. Namun semakin aku dekat dengan Benny, sikap Yuli terlihat resah, aku tidak paham. Barulah aku mengerti keresahan Yuli ketika Benny menembakku dan mengajak aku untuk tinggal bersama. Jelas ini sebuah kesempatan yang baik bagiku untuk keluar dari kehidupan Yuli dan Philip.

Aku memberitahu mereka ajakan Benny untuk tinggal bersama, sarapan kami pagi itu berubah menjadi perdebatan yang cukup hebat. Yuli sampai menangis dan membanting piring hingga pecah. Philip coba menenangkannya sedangkan aku hanya bisa duduk dengan wajah murung menahan air mata yang sudah hampir mengalir dari mataku.

Perdebatan itu berlanjut lagi malam harinya. Yuli jelas sangat panik, ia tidak bisa mengontrol emosinya, ia mulai melempar benda-benda yang ada di dekatnya, Philip lagi-lagi mencoba menenangkannya, sedangkan aku menangis dan merasa bersalah atas segala pertengkaran itu. Pertengkaran berakhir dengan Yuli mengurung diri di kamar, Philip pergi dari rumah, dan aku menangis hingga Philip datang dalam keadaan mabuk berat.

Ini bencana. Pikirku.

Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, terutama kepada Benny. Aku tak mungkin memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku sangat ingin pergi dari kehidupan Yuli dan Philip, tinggal bersama Benny, memulai hidup baru yang normal. Lalu aku mengarang cerita bohong tentang Yuli dan Philip pada Benny.

Benny kaget ketika aku beritahu bahwa Yuli sedang mengalami depresi. Awalnya ia tidak percaya sebab ia sudah cukup lama mengenal Yuli, tapi setelah pada suatu hari Yuli menelepon Benny dan menyuruh ia untuk menjauh dariku dengan nada marah diselingi ancaman, barulah ia percaya. Maka kami pun sering berjumpa secara diam-diam dan mulai menyusun rencana tinggal bersama tanpa sepengetahuan Yuli dan Philip.

Tapi Philip tahu hal itu. Suatu hari saat ia memintaku menemaninya untuk berbelanja ke swalayan, ia menanyakan tentang perihal itu. Awalnya aku tidak mengaku.

“Kamu tak usah berbohong padaku. Aku tahu kau sering berjumpa dengan Benny secara diam-diam. Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu,” ucapnya.

Aku masih diam.

“Kau berhak memilih sesuatu, punya kehidupan sendiri itu memang pilihan yang sangat baik. Aku sangat berterima kasih selama ini kamu sudah membuat kami semakin membaik. Tapi sekali lagi aku tidak bisa memaksakan apa pun.”

Philip berjalan lebih dulu dariku, ia berhenti di depan deretan kemasan susu yang memenuhi rak. Aku menatapnya, menyelami setiap kata yang tadi diucapkannya tadi. “Maafkan aku,” ucapku akhirnya sambil mendekat ke arahnya.

“Kau tidak punya salah apa pun. Pada awalnya kamilah yang memulai ini semua. Kau hanya terjebak.” Philip memasukkan sekotak susu ke dalam kereta belanja. “Yuli akan kembali membaik seiring berjalannya waktu.”

“Lalu bagaimana denganmu?” Tanyaku.

Philip berpaling ke arahku, ia menatapku tajam kemudian memperlihatkan senyumnya. “Kau tak usah lagi mengkhawatirkan kami. Kami akan baik-baik saja. Kau harus percaya itu.”

Jelas aku tidak bisa percaya bahwa mereka akan baik-baik saja tanpa kehadiranku di rumah. Kini aku memahami kata-kata Yuli dulu tentang pagi yang lebih baik, tentang keadaan buruk yang mereka alami sebelum aku hadir. Dan aku jadi gundah-gulana dibuatnya.

Di detik-detik terakhirku melihat Yuli dan Philip di rumah, aku berpikir cukup panjang. Semua ini berawal dari rasa putus asa akan hidup, berawal dari sebuah indekos yang kini sudah menjadi sejarah dalam hidupku. Berawal dari ingatanku akan Ayah yang membuat aku sakit hati sekaligus rindu. Lalu malam di sebuah bar acak yang aku datangi dan malam itu semuanya dimulai. Ya, seperti sebuah sulap, semuanya seperti keajaiban yang tanpa sengaja datang begitu saja, dan kini harus berakhir. Dan kukira hidup baruku baru saja akan dimulai.

Tapi sekali lagi semua berjalan tidak sesuai apa yang aku pikirkan dan harapkan. Aku memang tidak lagi pernah berhubungan dengan Yuli dan Philip, nomor telepon mereka sudah ku blokir seperti nomor telepon Ibuku yang dulu terus menghubungiku. Aku sungguh ingin melupakan mereka. Andai saja bisa, aku ingin menghapus memoriku tentang mereka. Hal macam ini bukan hal yang mudah, di waktu-waktu tertentu aku akan merenung, memikirkan mereka, menciptakan gambaran kemungkinan tentang mereka. Aku tersiksa, tak bisa tenang, terkadang menangis sendiri di kamar ketika malam.

Benny sering kali heran dan bertanya tentang sikapku itu, namun aku tidak bisa memberitahunya, aku selalu lari dari pertanyaan-pertanyaannya yang pasti membuat ia mengira aku menyembunyikan sebuah rahasia di belakangnya. Sebuah pasangan dengan sebuah rahasia pastilah akan menjadi sebuah masalah, sebuah rahasia hanya akan menciptakan penilaian bahwa pasangan yang katanya kita cintai tidak bisa dipercayai. Benny mengucapkan hal itu pada suatu sore selepas ia menulis sebuah cerpen untuk sebuah majalah.

Dan emosi-emosi itu, tertuang jelas dalam cerpen-cerpen yang ditulis Benny akhir-akhir itu. Ia jadi sering mempertanyakan tentang kesetiaan, tentang orang ketiga, tentang perselingkuhan, dan rasa takut ditinggalkan. Saban kali aku membaca cerpen-cerpennya itu, aku merasa sangat bersalah, namun aku tetap tak bisa menjelaskan apapun padanya.

Kami mulai jarang bicara, jarang menghabiskan waktu bersama, dan bahkan sudah cukup lama kami tidak bermesraan seperti awal-awal kami bersama. Sesuatu mulai berubah usang, mungkin sebentar lagi akan rapuh dan menghilang tersapu angin. Lalu suatu malam ketika Benny menghadiri sebuah festival di luar kota, aku sengaja tidak mau ikut, alasannya aku terlalu capek untuk pergi ke luar kota jika hanya untuk dua hari saja, aku butuh istirahat. Ucapku beralasan. Ia mencoba memaklumiku dengan menghargai keputusanku itu, mungkin ia berpikir bahwa keadaan akan membaik jika aku punya waktu dua hari untuk menenangkan diri.

Malam itu aku pergi ke bar tempat kali pertama aku berjumpa dengan Philip. Jujur tujuanku kala itu adalah untuk berjumpa dengan Philip. Aku benar-benar butuh kabar tentang mereka, namun aku tidak punya nyali untuk berkunjung ke rumah mereka. Aku tak akan sanggup menghadapi Yuli.

Suasana bar itu masih sama, isinya masih para laki-laki penyuka sesama jenis. Saat masuk tatapanku langsung tertuju pada tempat dulu aku duduk menghabiskan malam bersama Philip dan teman-temannya. Dan malam itu tempat duduk itu ditempati oleh orang lain. Aku duduk di depan konter, memesan segelas bir sembari bertanya pada bartender apakah dia tahu Philip di mana? Bartender tadi memberitahuku kalau Philip sudah cukup lama tidak datang ke situ. Terakhir beberapa bulan yang lalu. Katanya kala itu ia datang dengan wajah lelah dan ekspresi murung, sendirian dan tak ingin diganggu.

Jika ku hitung, mungkin itu saat malam kami bertengkar dan Yuli mengurung diri di kamar. Mendengar ia tidak lagi ke tempat ini aku sedikit agak lega. Mungkin saja sekarang ia benar-benar sudah berubah. Tapi apa pun bisa terjadi, bisa saja ia berada di tempat lain bersama teman laki-lakinya, mencoba suasana baru. Lalu bagaimana nasib Yuli. Aku malah resah, rasa ingin tahuku butuh jawaban.

Sepulang dari bar, aku tak bisa tidur, pikiranku terus terusik. Apakah besok aku harus berkunjung ke rumah mereka? Kurasa tak ada jalan lain selain melakukan hal nekat macam itu. Apa yang akan aku bicarakan nanti. Bersikap seperti apa. Apakah Yuli masih mau menerima kedatanganku? Aku ditakuti oleh kemungkinan-kemungkinan.

Hingga pagi datang aku hanya berbaring di atas tempat tidur, tanpa bisa mengatupkan mata walau hanya sejenak. Dering telepon beberapa kali memaksaku untuk segera bangkit dan menjawab panggilan itu. Benny menelepon, dari nada bicaranya ia terdengar sangat bersemangat, dan ia berkali-kali menanyakan bagaimana keadaanku. Apakah aku ingin menyusulnya. Dan beberapa pertanyaan lainnya yang hanya aku jawab dengan kata iya dan tidak. Pembicaraan itu berakhir dengan janjinya yang akan mengajakku makan malam di luar ketika ia datang nanti.

Selesai mandi dan sarapan, aku masih menimbang-nimbang apakah aku akan pergi berkunjung ke rumah Yuli dan Philip. Hingga aku masuk ke dalam taksi dan menyebutkan alamat rumah mereka, pun aku masih dihantui kegelisahan. Taksi berhenti di depan rumah mereka aku terpaksa harus turun, memandang rumah sepi itu dari balik pagar ketika mobil taksi berlalu meninggalkanku.

Dari luar rumah itu masih tampak sama seperti saat aku meninggalkannya. Sepi menyembunyikan kehidupan di dalamnya. Pagar rumah tidak terkunci, aku pun masuk dengan jantung berdebar semakin kencang. Pintu depan agak renggang, saat aku berdiri di sana seseorang menjenguk ke luar sambil memperlihatkan senyum ramah.

“Silahkan masuk, anda yang katanya mau melihat-lihat rumah ini ya?” Perempuan itu menyambutku dengan satu pertanyaan yang membingungkan.

“Anda siapa?” Tanyaku balik bertanya.

“Anda bukan Bu Mala ya?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng. “Saya kesini ingin mencari pemilik rumah ini?”

“Oh, maaf. Rumah ini sudah dua bulan ini kosong. Pemiliknya sudah pindah. Saya agen perumahan.” Ucapnya menjelaskan.

Jawaban itu mencipta kekecewaan di hatiku. “Kira-kira pindah kemana ya?”

“Saya juga tidak tahu. Saya hanya bertugas untuk membawa calon pembeli rumah melihat-lihat isi rumah.”

Aku bergeming terus berpikir. Kecewa itu meluap bagai sungai yang diguyur hujan seharian. Aku kehilangan arah. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak punya petunjuk apa pun untuk mencari mereka, dan tak juga punya keinginan yang kuat untuk mencari. Aku ingin tahu, tapi aku terus takut. Dan jalan buntu ini seperti pertanda bahwa aku harus berhenti mencari.

Aku berjalan kaki menuju jalan utama, langkahku konstan, tidak juga merasakan letih. Otakku terus berpikir, dan hatiku tiba-tiba berubah perih. Perasaan ini hampir sama seperti saat kali pertama aku memutuskan untuk tinggal di kota ini. Memutuskan untuk tidak menghadiri pemakaman Ayahku. Memutuskan untuk tidak lagi berkomunikasi dengan Ibuku. Aku benar-benar sudah menjadi seseorang yang gagal dan bahkan tidak lagi berguna.

Langkahku terhenti saat beberapa orang anak berlarian melewatiku, suara mereka riuh tapi tidak jelas apa yang mereka riuhkan. Aku berpaling melihat mereka sejenak lalu melanjutkan lagi langkah kakiku. Apakah aku harus pulang? Tanyaku pada diriku sendiri. Lalu kuhentikan sebuah taksi dan meminta kepada sopir taksi tadi untuk mengantarkanku ke stasiun kereta api.

Di stasiun aku membeli tiket kereta, kemudian duduk sendiri sambil termenung menunggu kereta datang. Saat kereta berhenti dan orang-orang mulai masuk ke dalam gerbong, aku juga ikut bangkit dan masuk, sambil bergerak menuju tempat duduk, ku keluarkan kartu sim dari telepon genggamku, kulemparkan sebelum pintu kereta kembali menutup. Aku duduk merenung lagi, sembari menyandarkan kepala ke sandaran bangku.

Saat kereta bergerak aku terus memperhatikan gedung-gedung yang semakin menjauh, memperhatikan kesibukan kota yang terbingkai di jendela kereta. “Tempat ini!” Ucapku sinis. Kereta semakin kencang, menjauh meninggalkan daerah perkotaan. Uang di dompetku tinggal seberapa, hampir semua uang yang diberi oleh Benny kuhabiskan untuk membeli tiket kereta tadi. Kini aku kembali seperti semula. Tak punya apa-apa selain orang-orang yang dulu coba aku lupakan. Dan aku pergi sekaligus kembali lagi.

~

Hari ini, aku melihat beberapa hal yang dulu sering aku lihat. Melihat gedung-gedung itu, melihat kesibukan mobil-mobil, melihat anak-anak berlarian di pinggir jalan. Semua itu mengingatkanku tentang masa lalu tiga tahun yang lalu. Di kota ada banyak hal baru muncul, namun sebenarnya sifat dari kota itu sedikit pun tidak berubah. Ramah sekaligus tidak seramah yang kita bayangkan. Baik sekaligus tidak sebaik yang kita harapkan. Semua itu seperti misteri tanpa jawaban.

Es krim yang ada di dalam gelasku perlahan mencair, namun aku membiarkannya begitu saja, aku masih ingin memandang kesibukan kota lewat jendela cafe yang bening tak bernoda. Kurasa pemilik cafe ini sangat memperhatikan kebersihan cafenya. Saat aku melihat ke luar, sedikit banyak bayangan wajahku memantul balik di jendela kaca itu. Aku bisa melihat wajahku yang terbingkai hijab. Kita tak pernah tahu takdir bisa membawa kita ke suatu tempat yang seperti apa. Pikirku.

Seperti perjodohan yang aku sanggupi, walau sebenarnya pada mulanya hal itu aku lakukan untuk menyenangkan hati Ibuku yang pernah aku sakiti. Kadang aku juga berkunjung ke makam Ayahku, membacakan doa untuknya dan berkali-kali meminta maaf. Aku dipenuhi perasaan bersalah, dan mulai bertekad ingin melakukan penebusan atas itu semua.

“Camelia?”

Panggilan itu membuat aku sedikit terkejut. Sudah lama nama itu tidak disebut dan hanya beberapa orang yang tahu nama itu. Di samping mejaku berdiri seorang lelaki dengan wajah letih. Meski ia menyunggingkan senyumnya tetap saja aku tahu kalau wajah itu sudah lama tidak tersenyum. Bahwa wajah itu penuh derita.

“Philip!” Aku langsung mengenalinya.

“Boleh aku duduk?” Tanyanya dengan sopan.

Aku mengangguk. “Bagaimana kabar kalian?”

Kata ‘kalian’ membuat senyum yang tadi diperlihatkannya sirna bagai matahari yang terlampau rendah di ujung cakrawala.

“Kamu sendirian?” Ia malah balik bertanya.

“Aku bersama suamiku.” Jelasku. “Ia sedang ke kamar kecil.”

Sejenak senyum itu mencuat lagi dari bibirnya, lalu sirna lagi begitu saja. “Sepertinya hidupmu jauh lebih baik.”

“Iya.” Aku tak punya hal lain yang bisa ku ucapkan. Bertanya tentang Yuli kurasa bukan pilihan yang baik, jika melihat keadaannya.

“Apa yang sedang kau kerjakan saat ini?”

“Aku di sini karena suamiku ada pekerjaan, aku ikut bersamanya. Jadi bisa dikatakan saat ini aku sedang liburan.”

Suamiku muncul tepat ketika Philip ingin mengucapkan sesuatu, dan ia mengulurkan niatnya itu. Aku memperkenalkan Philip sebagai sahabat waktu aku kuliah dulu. Dan Suamiku menjabat tangannya mengakrabkan diri. Pembicaraan itu terpaksa harus berakhir sebab Suamiku harus segera bertemu dengan rekan kerjanya.

Saat kami berpisah aku menatap Philip dengan tatapan yang prihatin. Sepertinya hidupnya sangat menderita, dan entah apa yang sebenarnya terjadi. Saat aku dan suamiku berlalu di depan jendela kaca itu, aku bisa melihat Philip masih duduk di sana menatap ke arah kami, dan sejenak aku berpaling ke arahnya tanpa tersenyum sedikit pun. Saat itu aku berpikir. Di manakah Yuli berada?

Dan setelah hari itu, aku tidak lagi pernah berjumpa dengan Philip, apalagi Yuli.[]

Pencinta film yang suka menulis dan menggambar. Karya ilustrasinya bisa kalian temukan di instagram @loganuesjr
Posts created 28

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top